Kursi telah tertata rapi, dua meja terpasang di antara
kursi kayu. Hari ini selasa, 5 Mei 2015. Suasana kelas tak sesejuk bulan april
lalu, ketika sebagian penghuni kelas berjamaah sujud dhuhur, bersama dosen
teladan berkumis jarang, dialah Professor Ali Aziz.
Dari bangku depan yang terbagi menjadi dua bagian, Ratu
duduk sendiri menghadap ke belakang, Ria, Nafis dan Azka berhadapan dengannya.
Pada shaf belakang mereka, Mas Miftah, Diana dan Mahabbah melirik ke sana-sini.
“Proyektornya masih tidak bisa?”.
“Kita coba dulu pak, Insya Allah sudah bisa”. mahasiswa berkaca mata tebal melangkah. Dari tempat duduknya Ia
membuka pintu, lalu meraih sebuah tongkat pel satu meter setengah. “Bismillahirrahmanirrahim”,
mulutnya komat-kamit ketika menekan tombol ON pada proyektor yang tergantung.
“Alhamdulillah”. Semua bersorak, sebuah cahaya memantul
menampakkan sebuah tulisan.
Dosen empat mata di depan kelas mengayunkan kaki, sepatu
Sport merah putihnya terkesan santai. Dari tangannya, ia menggenggam dua buah
spidol biru-hitam untuk menulis. Bahasa sederhana dan suaranya yang bersemangat
memantaskan dirinya sebagai seorang Trainer.
“Saya rasa, semester ini sepertinya kok tergesa-gesa ya,
sehingga perkuliahan tidak terprogram dengan baik, seharusnya ada praktek, ada
training untuk kita. Saling presentasi, ada peran baik dan buruk, ada yang jadi
provider dan juga klient”.
Baiti, Syamsuri dan Handika duduk paling depan pada sayap
kiri kelas, mata focus memperhatikan, tangan berjalan mencatat pengertian, “Prof
Ali selalu menasehati: jika kalian ingin menjadi penulis, kalian harus terus
menulis, jangan berhenti.”
“Sebelum anda mengajukan proposal maka yang harus
dilakukan adalah bertanya tentang masalah perusahaan, Anda bertanya, masalah
perusahaan itu apa?Sehingga anda bisa mendesain sesuai dengan kebutuhan,
setelah itu baru bisa membuat Rundown (susunan acara) di antaranya: ice
breaking, materi yang perlu disampaikan sesuai latar belakang perusahaan.”ini
kalau anda bergerak dalam TFT (Training for Training).
Ini gambar apa? “Senyum, senyum,,Baiti senyum, orange-orange”, teriak faizin menjelaskan gambar slide. “kalau imajinasi anda hanya berfokus pada gambar ini anda akan mengatakan senyum, namun jika anda orang yang kreatif anda akan bercerita sampai detail bahwa di sana ada anak main bola sambil nendang bola, menggelinding, bergeser bibirnya sampai ketemu emoticon seperti itu.
“Jika anda anak yang imajinatif anda akan bicara selain
itu, tapi bisa dikatakan sebagai anak yang memiliki kecenderungan indigo.”
“Tadi ada pocong loh ma”. Sharen menarik tangan ibunya. Ucapnya lurus tanpa pikir panjang.
Ibunya bingung mengernyitkan dahi. “Mmm?, ah kamu”, katanya. Putrinya
menatap jauh melewati sepion kiri mobil ayahnya, ia melanjutkan cerita, “Ma
kok banyak pocongnya ya ma, ada pocong empat, di depan kasir, di meja sama di
depan pintu, pas mama ambil bebek goreng ada satu yang ngikutin sambil
jilat-jilat .”
ayahnya geleng-geleng kepala. Ia tak marah, anaknya memang
suka bicara sendiri, bisa melihat sesuatu yang tak mereka lihat. “ini salah
satunya”. Anaknya cenderung seperti itu, kalau boleh dikatakan ia masuk
dalam kategori anak indigo.
Anak indigo (Indigo Children) adalah istilah bagi
anak yang memiliki kemampuan yang special, yang tidak banyak dimiliki oleh anak
lain. Konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh Cenayang nancy Ann Tappe
pada tahun 1970-an. Pada tahun 1982, Tappe menerbitkan buku Understanding Your
Life Through Colour (memahami hidup anda melalui warna) yang menjelaskan bahwa
semenjak pertengahan tahun 1960-an, ia
mulai menyadari bahwa banyak anak yang terlahir dengan aura indigo[1].
“Kalau anda punya anak indigo jangan marah!”. Pak
faqih berkata pada mahasiswa. hahaha
Dua detik ketika penghuni kelas tertawa, seorang mahasiswa
berbaju taqwa putih masuk lalu bersalaman, “Nah, cocok langsung doa”,
teriak temannya dari bangku depan. “langsung tanya ini”, pak Faqih
menambahi.
Dosen berbaju batik ini melanjutkan penjelasan, “yang
kekal di dunia ini adalah perubahan dan yang pasti adalah ketidakpastian”.
dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian, seseorang bisa stress jika
tidak siap menjalaninya. Jadi kalau cinta jangan terlalu cinta. Karena kalau
hidup di dunia kan tidak pasti, tetapi persiapan cinta kita yang sesungguhnya
ketika kita menghadap keharibaan Sang Pencipta itu yang pasti.
“Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”. Slogan
sebuah iklan rokok.
Ia membuka tutup spidol lalu menulis sesuatu di papan
tulis, satu perubahan, dua ketidakpastian. Perubahan adalah sebuah keniscayaan,
tinggal perubahannya ke arah mana, positif atau negative.
Ketika perubahan dan ketidakpastian adalah keseharian maka
tidak ada pilihan bagi seseorang kecuali membangun keyakinan dan kesempurnaan.
Keyakinan untuk mengambil keputusan dan kesempurnaan untuk mewujudkan
cita-cita.
Yakin itu nilainya satu dan tidak yakin nilainya nol. “Satu
kali, seratus kali jika dikalikan nol hasilnya berapa?, NOL.” Berapapun
tindakan yang anda lakukan kalau tidak ada keyakinan maka tidak akan jadi
apa-apa. Anda ingin move On tapi tidak punya visi, visi akhirat maupun visi
dunia, actionnya tidak jelas.
“Bayangkan, ketika ada seseorang yang tidak punya misi, menaiki
tangga sampai pada tingkat ke dua puluh, ketika sampai di sana temannya
berkata_ e sepertinya kita salah gedung. Sia-sia tidak?. Maka penting atau
tidak seseorang punya misi”.
Coba kita analisa, jangan-jangan kita melakukan tindakan
yang kelihatannya super sibuk tapi tidak produktif. “Anda harus MOVE ON nggak?”,
tergantung anda berani atau tidak, berani di sini tergantung empat ON: visiON,
actiON, passiON dan collaboratiON.
Inilah bedanya hewan dan manusia. Ketika ada rangsangan
tidak langsung action, karena manusia memiliki proses berfikir. Karena proses
berfikir menumbuhkan sebuah pemahaman dan pemahaman menumbuhkan kesadaran.
Kesadaran membutuhkan sebuah kepedulian, namun tidak semua orang memiliki sikap
peduli. “ada sampah lewat, anda Cuma melihat, tidak apa-apa”. Ini
berarti anda tidak sadar karena kesadaran lahir dengan kepedulian dan
kepedulian muncul karena kepentingan.
“Ada sebuah contoh”.
Apa yang harus aku lakukan?, berilah aku saran!.
Di tempat kerja, di jalan, di sekolah, di pasar, di rumah,
di manapun kok sampah thok!. Siti menggerutu pada dirinya. Melihat di
sekeliling kaki berpijaknya, botol plastic menari dan daun-daun gugur bak musim
semi.
“Aha…………..”, matanya terbuka, telunjuknya
mengacung.
Di carinya sebuah buku di rak ruang kerjanya, ia mengurut
satu buku berjudul “rubbish”. Sebuah buku yang ia tata rapi bersama
koleksi bacaannya. Dengan pelan ia membuka halaman demi halaman.
Pada lembar ke 21, tangannya berhenti menyibak lalu
membuka lipatan. “program bank sampah”. “Naaaah, ini yang kucari”. Ia
masih jongkok sambil membaca isi bukunya itu.
Bank sampah adalah suatu tempat yang digunakan untuk
mengumpulkan sampah yang sudah dipilah-pilah. Hasil dari pengumpulan yang sudah
dipilah akan disetorkan kepada pengrajin atau disetorkan ke tempat pengepul
untuk didaur ulang.
Bank sampah dikelola menggunakan system seperti perbankan
yang dilakukan oleh petugas sukarelawan. Penyetor adalah warga yang tinggal di
sekitar lokasi bank serta mendapat buku tabungan ketika menyetor.
“Wah boleh juga nih”, ia menyemangati dirinya
sendiri lalu melanjutkan membaca. Bank sampah
berdiri karena adanya keprihatinan masyarakat akan lingkungan hidup yang
semakin lama semakin dipenuhi dengan sampah baik organic maupun anorganik.
“kalau aku mendirikan bank sampah di gang ini,
sepertinya akan ada hasilnya, lihat saja, sampah akan diperhatikan, lingkungan juga
lebih bersih”.
Ya. Kesadaran, kepedulian dan kepentingan. Tiga
kunci yang harus dimiliki oleh pe_KARYA. Seseorang yang sudah ketemu
passionnya, enjoy dan semangat dalam aktifitasnya. Ada seorang dokter yang
menemukan jatidirinya, “Ya Allah mungkin inilah yang telah Engkau tugaskan
untuk saya, sehingga saya akan mengabdikan diri saya untuk melayani orang-orang
yang sakit”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar