“Ketika budayaku
dan budayamu bertemu”
“Megha,,,”
Suara
parau itu terdengar memekak telinga. Terlihat di balik pintu depan rumah berdiri
seorang pria bertubuh tegap.
Megha,,,,kembali panggilan itu melayang, “iya bu sebentar, apalah bu?, Megha sedang bersolek”.
“ada
pria nak berdiri di depan pintu kita, temanmu kah?”, Tanya ibu padaku, ku intip lewat celah esel pintu, dia orang yang
tak asing, dia bang Rayyan pacarku, ibu tak pernah tahu tentangnya, aku masih
takut terus terang karena usiaku belum genap 20 tahun, baru sampai dua bulan
yang akan datang.
“Dia
teman megha bu, bertemu di Sulawesi dulu kala Megha tengah kerja di Sana”, ucapku
setengah berbisik pada ibu sebelum akhirnya ku persilahkan bang Rayyan untuk
masuk.
“Adik
ini siapa namanya?, temannya Megha ya? Asal mana?”, Tanya ibu pada bang
Rayan, kukedipkan sebelah mataku seolah sedang berkompromi padanya, sambil
mulutku komat-kamit dengan raut memohon, aku lega ketika bang Rayyan menjawab “saya
rayan bu, iya temannya Megha, saya dari Jawa”.
“O,
Jawa, samalah kalau gitu sama bapaknya megha, tunggulah sebentar, lepas dhuhur
biasanya bapak pulang berkebun”, kulihat
ibu melirik jam dinding.
Ku
pandang lekat-lekat abang gantengku dari balik bahu ibu, aku merindukannya,
enam bulan yang lalu aku bertemu dengannya, di depan Resto sebuah mall di
Sulawesi selatan, hanya sebulan kami bersama dalam satu kota, setelah itu
berpisah dan hanya berkontak via media.
“Nak
Rayan kerja di Pontianak sini? ibu kok tak pernah jumpa? ”, akrab ibu bertanya, sementara ibu dan bang Rayan nyambung
bercerita, aku masih asyik memandangnya, aku benar-benar merindukannya, aku
sempat membayangkan kalau hari ini abangku sayang tengah melamarku, tiba-tiba
lamunanku buyar ketika ibu mencolek lenganku, “e, diajak cakap malah
melamun?”, “a..a..apa bu?” Tanggapku terbata-bata, ibu mengulang
pertanyaan bang Rayan “nak Rayan Tanya, apalah kerja kamu sekarang?”,
aku sedikit merasa geli, kutahu bang Rayan hanya basa-basi saja menanyakan itu
padaku, dia sudah tau semua aktifitasku, termasuk kerja nganggurku saat ini.
Belum
sampai dhuhur bang Rayan pamit undur diri, “tak nunggu bapak bang?, sebentar
lagi bapak datang”, lontarku agak tinggi “nggak dik, abang ke Pontianak
ini karena ada kunjungan kerja, nah ini
tadi abang sempatkan untuk mampir sebentar. Akhirnya bang Rayan bersalam
pada ibu dan juga padaku.
Aku mengantarnya sampai pintu, sementara ibu
hanya melihat dari samping sofa ruang tamu, “abang kenapa tak bilang, kalau
mau datang ke kota ini?, sambilku cubit tangannya. ”abang pengen beri surprice, pengen lihat
kamu kaget, abang rindu sekali, kapan adik mengizinkan abang untuk bicara sama
ibu dan bapak, kalau abang ingin menyunting anak gadisnya?, abang sudah siap
kenapa kamu masih nggak berani?, abang Cuma sehari di sini, besok udah terbang
lagi ke Sulawesi, nanti abang akan berkunjung lagi untuk melamarmu”. Rayu
bang Rayyan menggodaku.
Enam
bulan yang lalu dan hari ini adalah saksi bisu cinta kami, pertemuan yang
singkat antara sepasang kekasih berulang lagi. esoknya ketika ibu tengah santai
sambil memeloti tayangan TV, sinetron Tukang bubur naik haji favoritnya.
Kudekati dia sambil bermanja layaknya anak kelas enam SD, “bu, sebentar lagi
usia Megha genap dua puluh tahun, sebenarnya Megha ingin sekali melanjutkan
school, tapi apalah daya, kemarin daftarpun tak lulus, kerjapun ibu tak
mengizinkan, Megha bosan”.
Aku masih memilin-milin rambut ibu, “bu boleh tak Megha pacaran?”, ketawaku terkikik saat
mengucapkannya, ibu hanya tersenyum dan berkata “kenapa anak gadis ibu ini,
kamu jatuh cinta kah?, apa sama laki-laki tadi kau jatuh cinta?, ”
pertanyaan ibu memberondongku
Aku sedikit takut ketika hendak berterus terang pada ibu, akhirnya
kuutarakan semua bahwa aku dan bang Rayyan telah memiliki hubungan sejak aku
bekerja di Sulawesi, dan akupun mengatakan tentang makhsud bang Rayyan bahwa ia
sungguh ingin melamarku, tapi aku melarangnya. Ibu diam sesaat seolah
memikirkan sesuatu, aku sedikit gusar dan takut akan tanggapannya.
Kira-kira setengah sepuluh malam aku terbangun, terdengar suara
lirih di ruang depan tempat nonton Tv, ternyata ibu dan bapak tengah berunding,
kudengar ibu mengatakan kejujuranku tadi pada bapak, dan bapak hanya menjawab
ringan “mereka sudah besar, ya wajarlah kalau mereka suka satu sama lain dan
berniat untuk bersungguh-sungguh, tapi ya kita lihat dulu jangan tergesa-gesa,
kita lihat siapa laki-lakinya, tak perlu dari keluarga kaya, yang penting dia
tau agama, jadi bisa bimbing anak kita, trus juga tanggung jawab biar bisa
momong Megha”. Mendengar jawaban bapak yang bijaksana itu tiba-tiba air
mataku jatuh
Ibu yang biasanya suka tidak terima dengan perkataan bapak hari ini
lain. Bapak dan ibu layaknya air dan api, bapak berperingai halus, dalam
perkataan juga dalam tindakan, seperti pandangan pada umumnya kalau orang jawa
itu alon (pelan), mungkin inilah relitasnya, yaitu sifat bapak yang memenuhi
criteria itu.
Sedangkan ibu berwatak keras, karena ibu berdarah keturunan suku
Dayak. tidak jarang timbul perselisihan
ketika bapak dan ibu menyelesaikan suatu masalah, meskipun ibuku keturunan
dayak tapi ibu muslimah yang taat, hanya nenek dan kakek saja yang muallaf.
Jadilah aku secara langsung menjadi muslimah blasteran Jawa-Dayak.
Sebulan kemudian aku mendapat telfon dari sebuah nomor yang tidak kukenal, aku enggan untuk menyapu menu accept,
sekali dua kali sampai beberapa kali lagi nomor itu terus masuk, dengan nada
memaki akhirnya ku angkat juga, ditengah makianku aku tersentak ternyata itu
abang Rayyan, terbahak-bahak aku tertawa dan menahan malu.
Malam itu kuungkapkan rasa rinduku, aku terkejut ketika bang Rayyan
berkata kalau bulan ini hendak terbang lagi ke Pontianak dan ingin berkunjung
ke rumah sekaligus memenuhi janjinya bulan lalu, melamarku. Aku hampir
loncat-loncat kalau tak ingat lantai rumahku terbuat dari papan.
Tanggal 3 februari 2014 bang Rayyan benar-benar bertandang,
perundingan dimulai, bapak dan ibu silih berganti mengajukan pertanyaan
padanya, aku menyaksikan dengan dada berdegup seolah-olah aku sedang mengikuti
tes interview masuk kuliah dulu.
Kulihat bang Rayyan dengan santai dan tegas menjawab semua
soal-soal yang diberikan padanya, aku lega karena hasilnya memuaskan, bapak dan
ibu setuju, horee dalam benak ku berteriak.
Puncak masalah mulai muncul ketika aku dan bang Rayyan telah
memperoleh surat setuju dari orang tua kami, orang tua bang Rayyan sangat
memegang teguh hitungan jawanya, bang Rayyan panik jika saja nanti diperoleh ketidaksesuaian
dari perhitungan tanggal lahir milikku dan miliknya. Menurut mitos jawa, siapa
saja yang menabrak apa yang sudah menjadi tradisi Jawa, maka hal-hal yang tidak
diinginkan mungkin saja terjadi.
Di lain sisi, bapak dan ibu mulai berdebat tentang bagaimana
pernikahanku nanti, ibu meminta agar acara pernikahan sesuai dengan tradisi
dayak yang telah ada, dengan ritual-ritual yang harus dilakukan oleh calon
pengantin pra nikah, ada acara mandi tujuh sumur bebrbeda lah, ada ritual
mencukur sebagian bulu muka dan badan lah untuk membuang kesialan, yang itu
semua menurutku sangat tidak masuk akal.
Pandangan bahwa orang dayak suka memakai jampi-jampi ternyata
diyakini oleh keluarga bang Rayyan, perasaan takut kalau bang Rayyan terkunci
dalam tradisi kami juga dipercayai, memang kenyataanya seperti itu, tapi itu
bagi orang-orang yang masih memegang kental ajaran nenek moyang, mereka yang
masih berada di pedalaman-pedalaman Kalimantan.
Dua bulan berlalu, pertentangan yang timbul akhirnya dapat diselesaikan,
dua keluarga saling berembuk dan diperolehlah keputusan bahwa pernikahan akan
tetap terlaksana, aku girang begitupun bang Rayyan. Kupeluk orang tuaku
erat-erat, sambil bersimpuh mengucap syukur kepada sang Maha Pengasih.
“Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan”. Aku merinding mendengar kalimat itu diucapkan bang Rayyanku, orang
yang akan menjadi suamiku setelah ini. Tepat pada hari Jum’at, 11 April 2014,
di depan penghulu dan orang tua kami juga para handai taulan aku telah syah
menjadi istri Rayyan hamdan.
Aku tak lagi Megha yang sedang menunggu kepastian bersatu lagi, aku
adalah Megha yang kini memiliki keluarga baru, keluarga kecil yang akan ramai
dengan suara anak-anakku, kini aku dan bang Rayyan, memilih untuk tinggal
sendiri, tidak bersama bapak ibu di Kalimantan, tidak juga bersama orang tua
suamiku di Jawa. Kami mulai belajar memahami budaya satu sama lain. Doaku agar
Allah senantiasa melimpahkan Rahmat untuk kami. Amiin
Nb:
è Kisah ini ditulis dari ungkapan narasumber ketika diwawancarai pada
Sabtu, 3 Mei 2014
“hemmmmm panjang kl mau di cerita kn... hehee
mama ku kn msih kuat adat nya.. jdi males mau ikut nya terkadang.. ky mau nikah
kmren itu sbnar nya ak disuruh mandi 7 sumur. betangas atau di pingit.. pasang
mahendi di tangan itu sm pcar muslim.. bulu pda muka badan semua harus di cukur
krna ktanya buang sial...”
Dari
kisah di atas maka dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kesamaan antara
budaya jawa dan dayak, mereka bisa saja berselisih dalam berbagai masalah,
namun jika mereka dapat menjunjung toleransi maka keduanya dapat menerima
dengan lapang perbedaan-perbedaan yang ada.
Dalam
hal ritual dan tradisi, bagi mereka yang masih memegang teguh ajaran nenek
moyang maka akan susah untuk digoyahkan, baik itu Jawa, dayak atau budaya yang
lain. Sebagai contoh ritual-ritual yang dilakukan pra menikah di dayak, calon
pengantin dianjurkan untuk mandi dengan air dari 7 sumur berbeda , kebiasaan
seperti ini juga terjadi di Jawa yang disebut siraman, namun juga tergantung
siapa yang memiliki acara, tidak semua orang melakukannya.
Keyakinan
akan kuatnya jampi-jampi menjadi sesuatu yang tidak asing lagi di dayak, mereka
lebih suka pergi dukun untuk menanyakan beberapa masalah tentang kehidupan juga
ketika mereka tengah mengidap sebuah penyakit, pengobatan dilakukan dengan
meramu dedaunan yang telah diberikan oleh sang dukun.
Lalu
di Jawa, tidak jarang seorang ibu membawa bayinya kepada seorang kiai untuk
diberikan doa, agar anaknya tidak rewel, menurut kepercayaan, hal ini terjadi
karena sang bayi tengah diganggu makhluk halus.
Kedua
keyakinan di atas, masih mengakar sampai saat ini, namun seiring dengan
perkembangan zaman dua kebudayaan ini mulai sadar akan hal-hal yang bisa
dilakukan selain mendatangi orang-orang yang memiliki supranatural tinggi,
dengan membawa kerabat atau saudara berobat ke rumah sakit.
Sebuah tradisi di manapun itu, akan terasa sulit dibuka jika
pemiliknya memegang erat-erat ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Mereka bersikap demikian untuk berlaku sopan dan setia kepada leluhurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar