TERANGKAI CINTA SETELAH
BERSAMA
Anak muda hebat:
Jatuh cinta kepada
wanita yang menurutnya tak mungkin bisa tertarik kepadanya, tapi di dalam hati
dia berkata dengan penuh kesungguhan: "Suatu ketika nanti, aku akan
menikahimu”.
( Mario teguh )
Cinta, adalah sebuah perasaan seseorang terhadap sesuatu yang lain, cinta
dalam hati ibarat sebuah pohon, memiliki akar yang mengokohkan, memiliki daun
yang menyejukkan, memiliki dahan yang menguatkan, juga memiliki ranting yang
seakan-akan menjadi seni dari keindahannya. sifatnya yang meneduhkan, inilah
yang membuat seseorang memilih untuk melabuhkan penatnya, untuk berteduh di
bawahnya,untuk menikmati kerindangan daunnya bersama sepoy alami semilir angin.
Namun cinta, tidak selalu terangkai
dalam kisah indah, tidak selalu tercatat bak cinta Alysa dan Dude, dengan
romansa yang nampak sebelum bersama. Terungkaplah dalam suatu kisah
asmara, sepasang kekasih yang hidup dalam
kemoderenan masa, dengan gaya hidup kali ini, dengan style terupdate gaya anak
muda.
Sebut saja namanya Aisyah dan Randi,
memiliki hubungan yang sepertinya mulai diragukan ibunya, "Ais, kamu
telah berumur nak, sudah waktunya kamu untuk berkeluarga, kalau kalian memang
telah sama suka, mintalah pasanganmu untuk meminangmu, supaya ibu tenang, kamu
harus tahu, pakde Hasan juga pernah meminta ibu untuk mengawinkan kamu dengan
anaknya, "mas Dana". sebenarnya ibu juga suka, tapi ibu tidak mau
memaksa dulu, setidaknya mintalah kepastian pada pasanganmu. jika memang lain,
maka turutilah permintaan ibu."
Sontak nyanyian guntur mengiringi
ketegangan hati Aisyah, "mas Dana? orang yang paling kuper, paling
kuno, tidak tahu zaman, bukan typeku, orang yang kerjanya cuma ke masjid, cuma
ke majelis, apakah ini bu, pilihan ibu?".
seiring gelisah menemani, di
pencetnya tombol di ponsel, terlihat ia mengetik sebuah pesan "mas
Randi, besok datanglah ke rumah, ibu ingin bicara", dengan berat hati
dikirimlah pesan itu.
"Assalamualaikum".
wa'alaikum
salam, oo nak Randi, ayo masuk, Ais, nak ada nak Randi, ibu tinggal sebentar
ya.
Ditemuinya Randi, lalu menciptakan
sekedar basa-basi pembuka suasana. "sudah lama mas?, oya ibu ingin
bicara tentang hubungan kita, nanti bicaralah yang baik supaya ibu mengerti
tentang hubungan ini, aku sangat berharap bisa bersamamu mas".
langkah kaki terdengar lirih, itu
langkah ibu, badan terasa panas dingin seakan menghadiri sidang Mahkamah
agung, sekali-kali ais menyeka
keringatnya, entah tak sabar atau takut akan keputusan ibu dan mas randinya.
"nak
Randi", sapa ibu memulai percakapan
"ia bu". jawab
Randi
"em, ibu, mas Randi Ais mau ke
belakang dulu". pamit ais memotong suasana. lari dan bersandarlah ia di
balik pintu kamarnya, yang tak jauh dari ruang tamu. sayup-sayup ia
mendengarkan percakapan ibu dan mas Randinya, agak lama, ada sekitar dua puluh
menitan. kata demi kata disimaknya dengan teliti, tiba-tiba terdengar kalimat
yang tidak disangkanya, "ibu, sebelumnya Randi minta maaf, bukan
makhsud Randi untuk mengulur waktu, Randi memang mencintai dek Ais, tapi bu,
orang tua Randi telah memilihkan jodoh untukku, Randi ingin menolak , tapi
orang tua Randi tetap memaksa, Randi sudah mencoba mencari waktu untuk bicara
ini pada dek Ais, tapi Randi tak tega mengatakannya. ibu maafkan Randi".
terdengar lagi ibu mengatakan makhsud, bahwa pakde Hasan juga telah memintaku
untuk dijadikan menantunya.
Langit terasa pekat, dibantingnya
palang pintu kamar dan terdengar teriakan ibu "Ais?". ia
lemparkan tubuhnya ke kasur dengan sesenggukan air mata. entah apa yang terjadi
lagi setelah itu, beberapa waktu tidak ada lagi percakapan ibu dan mas
Randinya, mungkin sidang itu telah usai, mungkin pula ibu telah memanggilnya
berkali-kali.
Esok hari, rumah terasa asing, ia
marah, marah pada dirinya mengapa ia terlalu berharap?, marah pada randi,
mengapa tak mau jujur. marah pada ibu, itu tak mungkin, jika saja ibu tidak
tegas maka ia akan menjadi gadis yang paling menyesal karena tak mengindahkan
nasehat orang tuanya.
Akhirnya tibalah hari di mana ia
benar-benar telah menerima permintaan ibunya, menikah dengan Dana, seorang yang
sebelumnya sangat ia benci, ia tak banyak bicara, senyumpun sepertinya enggan
untuk dilepaskan. iringan Shalawat badar menambah riuh rumahnya, celoteh anak
kcil sambil berlarian menambah cita namun tak juga merubah masam mukanya.
hari itu, orang yang telah melukainya ternyata hadir dalam acara
resepsi, semakin merah dan ingin berteriak segera memukulnya, Randi, di teeskan
lagi air mata seolah ingin beranjak dari singasana, ingin berlari dan memeluk
kekasihnya dulu itu. namun ia tak kuasa dan bertahan hingga usai acara
kini, Aisyah Nasywara telah sah
menjadi istri Hardana Hasan. seorang yang akan ia temui setiap hari, seorang
yang akan menjadi imamnya dalam sholat , seorang yang akan mnejadi ayah dari
anak-anaknya kelak, inilah ratap Aisyah.
Malam. demi malam telah mereka
lewati,belum sekalipun Dana menyentuh Aisyah, padahal secara jasmani kebutuhann
Aisyah selalu dipenuhi, makan, pakaian, perhiasan dan lainnya, lambat laun
Aisya menjadi curiga, merasaka rindu tatkala suaminya tak ada di Rumah, sering
Aisyah menghadiri majelis-majelis suaminya,
iapun telah memakai baju hadiah dari ustadz muda itu, gamis panjang
menutup aurat dengan kedudung lebar menutup bahu berwarna hijau toska. ia mulai
di landa perasaan cinta kepada imamnya.
Suatu hari dipertiga malam, terdengar
suara menggigil serak-serak dengan igauan, Aisyah terbangun dan mencari asal
suara, "mas Dana, kenapa kamu?". Aisyah tak berani untuk
sekedar mengusapnya, semakin lama ia semakin tak tega, melihat suami yang
selama ini hambar padanya meronta lirih kedinginan. "Mas", sapaan
itu ternyata membuat suaminya terjaga, lalu menyingkir sejengkal darinya. lama
mereka hanya terdiam. Dana yang telah terbangun melihat air mata dipelupuk mata
istrinya, "kenapa kamu menangis dik?" tanya Dana. "mas,
aku istrimu yang sah kan?, kenapa kau tau mau menyentuhku? apa kau marah
padaku?".
Dik, kamu tahu pelacur? banyak
pelacur yang melayani tamunya bukan atas dasar cinta, dia hanya terpaksa
melakukan itu sampai tamunya merasa lelah. Setelah itu, apalagi artinya?, aku
tak ingin kamu seperti itu dik, kamu istriku, bukan mereka, aku tak ingin
meminta jika kau belum marasakan cinta. Aku tidak ingin hanya aku yang merasa
tapi kau juga. Dik inilah alasanku mengapa belum sekalipun aku memberikan
nafkah batinmu, aku takut menyakitimu.
Dik tahukah kamu, sehari sebelum pernikahan kita,
aku berkunjung ke rumahmu, kudapati kau dan kekasihmu tengah bersalam pisah,
kuurungkan niatku untuk bertamu, selangkah kubalikkan tubuh kudengar kalian
tengah berjanji untuk tetap mencintai satu sama lain. Aku merasa bersalah
padamu dik, aku telah menjadi penghalang cinta kalian.
Lalu ingtkah kamu ketika mantan
kekasihmu dulu datang di acara resepsi kita, kulihat kamu menitikkan air mata,
tanda kau merindukannya, entah apakah hari itu kau ingin berontak atau kau
hanya ingin berbakti pada orang tuamu
Tak kuasa Aisyah menahan haru, tanpa
sadar ia telah memeluk suaminya, inilah malam petamanya, merasakan menjadi
seorang kekasih dari imamnya. sejak saat itu mulai tumbuhlah cintanya, mulai
mendapatkan artinya kebahagiaan cinta yang Mawaddah dan juga warrahmah.
Sembilan bulan kemudian lahirlah
putri kecil, buah dari cinta mereka “Kayla naura Hardana”. Aisyah yang dulu
gadis modern dengan stylenya, kini menjadi muslimah anggun dengan balutan gamis
panjang. Naura kecilpun senada dengan ibunya Aisyah nasywara.
Kala itu, Ramadhan malam dua puluh
tujuh, Aisyah yang sedang memangku Naura, bersandar pada suaminya, mereka duduk
di balkon sambil menikmati kerlip bintang dan cahaya langit malam. “dik Ais,
istriku sayang”, sapa Dana dengan mengusap bahu Aisyah, “iya mas
Danaku?”.
“kau tahu bintang-bintang itu?, aku ingin
kau seperti mereka, menjadi hiasan untuk langit, kerlipnya juga memberi cahaya
lebih bagi atap lebar itu, istriku, jikalau nanti aku lebih dulu meninggalkan
dunia, maka kau harus bisa menjadi layaknya bintang, kamu harus bisa menjadi
penghias keluaga kecil ini, kamu harus jadi ibu yang mengayomi bagi anak-anak
kita, Naura juga adik-adiknya nanti, InsyaAllah”.
Sambil memicingkan mata Aisyah
mencubit suaminya “kamu bicara apa mas, aku ingin terus bersamamu, di dunia maupun akhirat”.
Insya Allah kita terus bersama dik, jika kita saling mencintai karena Allah,
bukan karena yang lain. Jawab Dana. Sudah malam mari kita masuk
Malam berlalu, kumandang ayat-ayat
Alquran terus dilantunkan, masjid, surau tidak pernah sepi dari pengeras suara,
seorah-olah tadarrus ada shiftnya, shift pagi, shift siang juga shift malam,
inilah suasana ramadhan, pengajian bergilir dari satu masjid ke masjid yang
lain juga berjalan setiap malam. Terasa sejuk nuaansa menyambut Syawal.
Naura cantik, nanti kalu udah gede
harus pintar mengaji ya, harus bisa berdoa buat ayah dan ibu, Naura juga harus
jadi anak berbakti. Timang Dana menunggu sorban hijau dari istrinya.
Ini mas, hati-hati suamiku!, ulur
Aisyah menyerahkan sorban suaminya ketika hendak mengisi ceramah disebuah
walimah. “dik Ais, jagalah anak kita, Naura.” Pasan Dana
Pagi ini, hari terasa berbeda,
suasananya juga tidak seperti biasanya, mendung dan berkabut. Jalanan juga
sepi, hilir mudik kendaraan tak begitu ramai, hanya satu dua mobil Tronton yang
mengemudi. Namun sahut menyahut tadarrus masih mengalun namun terasa hening,
entahlah.
Qiraah Penyambut sholat jum.at telah
dinyalakan, ditoleh jam menunjukkan pukul 11.30. “biasanya, mas Dana tidak pernah telat?, apakah dia tidak jamaah di
rumah?”. Pertanyaan demi pertanyaan Aisyah semakin membuatnya panik.
Tiba-tiba ponsel di meja terdengar berdering, di saputlah cepat-cepat, “Al-hamdulillah
mas Dana, Assalamualaikum mas, di mana?”. Sapa Aisyah, “maaf apakah ini
dengan ibu Aisyah?, ini dari kepolisian, suami anda Herdana hasan tengah
mengalami kecelakaan, sekarang tengah dilarikan ke RS.kusuma, terima kasih bu”.
Ponselnya lepas dan terbanting, jerit
hati seolah tak bisa diungkapkan, dadanya terasa sesak, di renguhnya Naura
kecil yang sedang bermain gantungan bola, ia hampir tak sadar, kembali ia
mencari materi ponselnya yang terpisah, dia pasang lagi dan diaktifkan, lalu
mengontak ibu dan ayah mertuanya juga sanak saudara.
Naura
terus menangis disepanjang perjalanan, lorong rumah sakit terasa menakutkan,
bau obat tercium di mana-mana, dan kini
ruang ICU telah di depan mata, ia tak kuasa melangkah untuk melihat laki-laki
yang dicintainya, lewat kaca kecil dipintu, ia mengintip suaminya yang terlelap
efek bius. Ia tak tahan, ibu dan ayah mertuanya mencoba menenangkan, semuanya
sedih.
“Mas Dana,
suamiku”, bisik Aisyah lembut membuat suaminya terbangun, “istriku,
kamu baik-baik saja sayang?, kenapa menangis, tak lagi cantik istriku kalau
menangis?”, goda Dana. “Kau jangan bergurau mas, mana yang sakit?
Tanya Aisyah.
“Ini”,
sambil menunjuk dadanya, “terasa sakit sekali kalau aku tak jumpa
dengan kekasihku, kalau aku tak lihat senyum sholehahnya, seperti saat ini. Yang juga
tak Nampak lesung pipitnya. Goda
Dana lagi menghibur Aisyah.
Dik
Ais, kau ingat kata-kataku semalam?, pegang selalu ya, lalu kalau Allah memang
mengambilku lebih dulu darimu, maka ku izinkan kau disunting laki-laki lain,
asal dia bertanggung jawab, dan mau menerima putri kita, dia tidak hanya
mencintaimu namun juga menyayangi Naura.
Lekas
Aisyah menghambur memeluk suaminya, tangisnya tak terbendung lagi seakan ia tak
ingin berpisah dengan ustadz mudanya itu. “mas jangan ucapakan kata itu
lagi, aku mencintaimu mas, sangat, lihat Naura, ia ingin ditimang ayahnya
seperti tadi pagi”. Ucap aisyah disela tangisnya.
Pukul
3 dini hari, bunyi sirine ambulance terngiang meramaikan jalan sempit perumahan
Aisyah, alat pengeras di masjid tengah bersuara, mengumumkan berita duka,
ustadz muda Herdana Hasan telah kembali ke Rahmatullah, para tetangga silih
berganti bertakziah, seakan tak percaya, ustadz yang baru kemarin subuh
mengimami kini telah meninggal. Tak ada lagi ustadz tampan Herdana yang mengisi
pengajian setiap pekan. Hari itu dua hari sebelum idul fitri, bumi terasa
menangis, langit berwajah suram meski siang, seolah merasakan kesedihan.
Cinta
Aisyah dan Dana, cinta karena Allah, kembalinya juga pada Allah.
sungguh cerita yang mengahrukan
BalasHapus