SELAMAT DATANG DI BLOG B3 Baiti Bbytieh Blog

Sabtu, 10 Oktober 2015

PUISI: TANAH YANG TANAH KITA



TANAH YANG TANAH KITA
Oleh: A’yat Khalili (Sumenep 2014)
Diambil dari buku Pengantin Langit (Antologi Puisi Menolak Terorisme)
Surabaya, 08 Oktober 2015
Tanah ini, tanah milik kita
Tapi mengapa kita memberinya kucuran darah?
Sejak kau tumpahkan air mata dari saudara sendiri
Keriuhan selalu bergema di selaput jantung
Membias derita dalam gulita hatiku.

Mengapa cuaca cerah tak lagi ada?

Di tanah ini, yang tanah milik bersama
Setiap matahari bersinar dan bulan tersenyum
Setiap dari kita seperti musuh
Yang berbeda cita-cita dan mimpi
Sama ingin saling mengubah garis panorama
Tapi masih tetap mengaku mereka juga saudara
Berkali kami terjatuh dalam tipu daya dan amarah
Sebagian dibunuh, diperas, ditindas dan diusir
Tanah inipun kehilangan makna.

Apa sebenarnya yang ingin mereka buat untuk tanah sendiri?

Sudah tak adakah cinta, butir-butir peluh nan suci
Yang mengisi tanah pertiwi? Entahlah.
Darah dan air mata telah lebih dahulu mengambil alih
Mengubah warna tanah dari sesuatu yang sejak dulu kami mengerti
Dalam perjuangan dan persatuan hidup berbagi.


KAU: REMAJA



HAI: REMAJA
Oleh: Baiti Rahma
Surabaya, 07 Oktober 2015


            Salam…
            Golongan yang penuh ambisi, orang-orang yang memiliki motivasi yang tinggi. Siapa bilang kamu tidak cukup percaya diri, cobalah bangkit dari dudukmu!, berjalanlah ke arah kaca . Lihatlah, bukankah itu adalah pantulan dirimu?, wajah elok penuh pendirian, tampang gagah penuh keberanian.
            Tau usah malu, tak usah takut melulu. Abaikan pandangan sinis teman-temanmu, itu masalah mereka, terus sibuk mencibirmu bahwa kau tak mampu. Justru jika kau semakin sendu itulah masalahmu, enggan bangun lalu melangkah maju.
            Terus pandangi garis senyummu, senyum yang seharusnya tetap tersungging, mantap menatap tanpa ragu. Katakan saja, “Hai diriku, bukankah kita sama-sama dari rahim ibu?”. Akankah kamu membiarkan mereka terus terbahak menikmati kelemahanmu?.
            Sekarang waktunya, tunjukkan pada mereka. Bahwa kau bisa, bahwa kau luar biasa. Bahwa kaulah sang juara. Apakah kau sadar?, kau  telah berolimpiade melawan gesit lari saudara-saudaramu, ketika kalian berebut lebih dulu sampai ke sel telur ibumu. bukankah itu takdir, bahwa kau menjadi insan kuat sejak saat itu.
           Ingatlah, terpuruk bukan jalan melampiaskan ketidakberdayaanmu. Tidakkah kau merasakan, betapa bangganya orang tuamu saat kau memberikan raport SD mu?,  apakah mereka pernah marah lalu membentakmu?, menuntutmu untuk selalu mendapat nilai sepuluh. Tidak kan?. Mereka hanya ingin kau menjadi putra mereka, menjadi putra ramah dengan tawa bahagia, tanpa beban ejekan teman-temannya.
            Banyak di antara orang-orang hebat kelas dunia, tanpa tangan tanpa kaki, ia hanya memiliki dua ruas jari di pangkal pahanya. Bayangkan, betapa susahnya menerima keadaan dirinya. Ia bernama Nick Vujicic, seorang pria yang terlahir dengan cacat Tetra Amelia. Ia sempat putus asa dengan menenggelamkan tubuhnya di bak mandi, namun setelah itu ia tersadar dan mulai keluar dari niat tak warasnya. Ia berkata, “Apakah hidupku akan selesai dengan sia-sia?”.
            Nah, itu kisah dari orang hebat yang tak sempurna fisiknya, bagaimana denganmu?, dengan kita?, yang Alhamdulillah terlahir dengan organ utuh. Dengan tangan yang mampu menggapai, dengan kaki yang bisa melangkah, tentunya dengan otak yang mampu berfikir. Masalahnya ada pada, bagaimana kita mengelola keinginan dan kemauan, selalu memotivasi diri dengan semangat yang berkobar, yang tak begitu saja kendur dengan satu dua ucapan tak penting dari mereka.
            Tugas kita adalah menjadi diri sendiri dan terus melakukan perbaikan secara bertahap.
            Selamat, semangat dan congratulation!.

DUA RIBU: KITA SEBELUM ITU



DUA RIBU: KITA SEBELUM ITU
Oleh: Baiti Rahma
Surabaya, 07 Oktober 2015

            Kata angkatan sering dikaitkan dengan tingkat sekolah. Pun dengan generasi, banyak yang mengartikan sebagai sekalian orang yang berada dalam satu angkatan hidup. Kira-kira kisah apa ya, yang mau diangkat dalam tema kali ini?. Sahabat Kecil.
            Siapa yang masih ingat dengan mainan Bola Plastik sebesar kepala orang dewasa?, tapi bukan bola karet semasa kita sekolah SMA. Ini permainan dua regu, yang masing-masing pemain, bakal gelindingin bola sampai kena tumpukan beling genteng. Nah tuh, kalau belingnya sampai roboh, penjaga akan melempar bola sampai musuh kena tumbuk. Waw, jadi ngos-ngosan.
            Kita, generasi tahun 90_an ke bawah pasti pernah ngalamin main seru-seruan di halaman luas. Berlari bersembunyi penuh canda tawa dan persahabatan. Main Boi, ancak ale, petak umpet, Gobag Sodor, bentengan, ngejar layangan putus sambil lari-lari, manjat pohon ceres, nyari batang pohon pisang buat ngambang di bengawan, nunggu perahu lewat biar bisa bergoyang, pulang-pulang udah adzan, Emak Bapak marah suruh bilas mandi lalu pergi mengaji.
            Sampai di tempat ngaji rebutan dampar sama urutan maju, numpuk prestasi paling bawah biar cepet baca Shodaqallahul adzim. Saling nyembunyiin sandal biar pada nyari, kalau udah ada yang nangis baru dah, Kabuuuur!.
            Ya, generasi kita. Ketika SD masih pakai papan tulis warna hitam dengan kapur tulis cap Sarjana, mata pensil yang diraut dengan rautan yang ada kaca di salah satunya, “lumayan bisa buat meja main bungkar pasang”. Buku tulis gambar Alda Risma, bagi-bagi jajan merk Apollo kalo ada saudara yang datang dari perantauan. Wuss, satu bungkus baru habis sehari, maklum Jajanan langka.
            Pulang sekolah wajib jamaah shalat dhuhur, Lamcing salam Plencing sama Lampit salam lempit trus saling janji, “Nanti ngumpul di Bong”, nyusurin pematang sawah. Kaki nggak keliatan jadi kaki, saling dorong biar pada kecebur di kali sambil gantian ketawa. Jelek banget muka kita.
            Kitalah generasi terakhir yang suka jalan pagi, buka rumah lalu lepas sandal. Lewat tanggul ongker-ongker sampah belakang warung, lomba nyari bungkus rokok buat main osrokan, trus kertas grenjengnya buat main arisan sama plastic permen sugus. Tasnya dari kantong permen Kino. Ada yang ingat permen lope warna kuning??, jajan Bali harga seratus? Atau Mie Jaipong?. Hahaha :D.
            Apakah ada penerus setelah kita, anak tahun Sembilan puluhan ke bawah?

Rabu, 07 Oktober 2015

Bbaiti Bytieh Blog: TALI KENDALI

Bbaiti Bytieh Blog: TALI KENDALI: TALI KENDALI Oleh: Baiti Rahma Diambil dari buku karangan Dr. Ibrahim Elfiky (Memperbaiki Nasib: Terapi Mengendalikan Diri Agar Hidup...

TALI KENDALI

TALI KENDALI
Oleh: Baiti Rahma
Diambil dari buku karangan Dr. Ibrahim Elfiky
(Memperbaiki Nasib: Terapi Mengendalikan Diri Agar Hidup Terus Lebih Baik)
Lamongan, 03 Oktober 2015

            Suatu hari ada seorang pemuda melangkah dengan penuh cemas. Ia penasaran ingin mengetahui rahasia kebahagiaan yang sejati. Di tengah perjalanannya ia bertemu dengan wanita tua yang memberinya saran agar ia pergi ke sebuah desa kecil di pinggir kota.
            “Datanglah ke sana nak!. Di sana hidup seorang kakek bijak yang dapat menunjukkan kepadamu rahasia kebahagiaan sejati”.
            Tanpa banyak waktu, ia segera Menyeberangi lautan. Ketika sampai, ia bergumam dengan bangga kepada dirinya, “Kini aku akan mengungkap rahasia yang selama ini kucari”.
            Setelah bertanya kepada orang-orang, ia menemukan rumah si kakek bijak. Rumah sederhana dari rotan dengan pagar tanaman di sekitarnya. “Kreeeeek”. Seorang nenek keluar dari balik pintu tua setelah ia mengetuknya.
            “Mari, masuklah. Ada apa gerangan anak muda, sehingga berkenan mampir di gubug ini?”.
            “Aku ingin bertemu dengan kakek bijak nek”.
            “Oh, Tunggulah beberapa saat anakku”.
            Iapun duduk menunggu, sesekali ia memutar arloji kuning emas di lengan kanannya. “Hampir lima jam”. Ia tak kuasa menahan kesabaran, dan beranggapan bahwa tuan rumah memperlakukannya dengan buruk.
            Ketika kesabarannya nyaris putus, datang seorang kakek tua dengan kain sarung tersampir di bahunya. Penampilan yang biasa saja, tak ada yang istimewa. Sosok kakek itu tersenyum dengan bijaksana lalu menawarkan segelas teh kepadanya.
            Si pemuda, dengan hati yang berkecamuk, berkata dalam hati, “Santai sekali, tanpa minta maaf telah mengabaikanku. Padahal aku telah menunggunya hampir lima jam”. Ia berpikir keras untuk menahan emosinya. Sementara si kakek dengan santun kembali menawarkannya segelas teh.
            Dengan ketus ia menjawab, “Ya, aku mau teh!”.
            “Nek, tolong buatkan teh untuk tamu kita!”. Pinta si kakek
            Ketika teh sudah terhidang, si kakek bertanya kepada sang pemuda, “Bolehkan saya menuangkan minuman ini untukmu?”. Sang pemuda mengangguk dengan baik. Ia tersinggung ketika sang kakek terus menuang air teh hingga tumpah ke luar gelas.
            “Apa kakek tidak lihat, gelas ini sudah penuh. Tetapi anda terus mengucurkan air hingga mengotori tempat ini”.
            Mendengar suara keras sang pemuda, si kakek menjawab dengan wajah tetap dihiasi senyuman, “Pulanglahlah nak!. Aku sangat senang kau menunjukkan perhatian, pertemuan kita selesai”.
            Lagi-lagi pemuda itu tak terima. Ia telah jauh-jauh datang dari pulau seberang, menunggunya hingga berjam-jam lalu disambut dengan aliran air teh yang meluber kemana-mana, namun akhirnya disuruh pulang. Ia berkacak pinggang.
            “Dengarlah anakku, kau harus datang lagi dengan gelas yang kosong. Ketika gelas itu dipenuhi oleh teh, ia tidak akan bisa menampung lebih banyak. Jika kau menuangkan air melampaui batasnya maka kau akan kehilangan banyak hal di sekitarmu. Seperti itulah yang terjadi dalam dirimu saat ini nak”.
            Si pemuda masih tak paham, ia menanyakan makhsud perkataan kakek itu.
            “Nak, ketika kau terus marah maka gelasmu dipenuhi oleh amarah. Sementara kau terus mengalirkan amarah dalam gelasmu. Akibatnya kau lebih emosional di luar batas sehingga kau akan mendapat kerugian yang besar”.
            Sang pemuda lalu terdiam. Setelah si kakek mengantarnya sampai pintu ia berujar, “Jika kau ingin bahagia anakku, belajarlah menguasai sikap dan perasaan. Pastikan gelasmu tetap kosong, itulah kunci kebahagiaan sejati”.
            Perasaan manusia terus berubah layaknya cuaca, kadang naik melambung lalu berlanjut turun menukik. Bayangkan saja jika anda tak mampu mengendalikannya. Perasaan ibarat warna-warni pelangi, anda bisa saja memulai hari dengan bahagia, menangis haru, mendendangkan lagu kesukaan lalu keluar rumah dengan pakaian terbaik.
            Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba ada mobil melaju dengan kencang lalu menciprati anda dengan air pingggir jalan. Tentu hal ini mengotori baju kerja anda. Kendati demikian anda tidak merasa terganggu dan meneruskan perjalanan.
            Setiba di kantor anda menyapa semua orang dan mendoakan kebahagiaan untuk mereka. Mengapa semua itu bisa terjadi, seolah sebelumnya tidak terjadi hal menyebalkan?. Jawabannya, karena anda memulai hari itu dengan perasaan senang dan bahagia.
            Inilah rumus Isi Gelas, “Penuhi, kosongkan, isi, lalu kosongkan lagi”. Begitu seterusnya berulang-ulang sepanjang hari.