SELAMAT DATANG DI BLOG B3 Baiti Bbytieh Blog

Sabtu, 18 April 2015

Menikmati dengan "pelan" dan Asmara atau Gejolak?



            Aqillah Yovi Al-Rizqy_

Papan atom bergantung setengah menempel. Lonceng seruas kelingking bertabrakan ketika tangan-tangan mengusiknya. Lagi-lagi kemerincingnya menari. Lalu sepotong kelambu tergerai menyapu ke depan belakang. Lagaknya seperti berjalan, ia maju mundur terusap angin.
            Di sebelahnya, sebuah mesin jahit dilipat karena tua, kayunya masih cokelat mulus, rodanya juga tak seret meski termakan usia. Sekeresek obat ditambah tumpukan Koran-koran bekas sama dengan tempat singgah, kadang botol mineral duduk manis menungguinya.
            Ketika meja terlipat itu diusap, maka takkan ada sisa debu atau minyak, kemoceng kayu dengan bulu-bulu angsa selalu menjamahnya tiap pagi.
            Oh lihatlah, siapa bayi dalam bingkai abu-abu itu?, apakah dia pemilik tatakan pembuat baju ini?, dia tersenyum, dengarlah!, Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu, dengarkan, giginya mengetuk-ngetuk seperti mengunyah, cecapnya terdengar lembut sekali, tangannya melambai meniru sapuan kuas di kanvas.
            “Mbaaak”, sebuah tangan kecil menarik kain kepalaku. Setengah mendongak kuputar badan lalu meraih panggilan. Mulutku membuat garis bundar, rahangku tertarik membuat garis segitiga.
            Dengan bola mata pas di tengah aku melihatnya, seorang anak kecil bermata jeli menarikku menjauh dari pigura. Aku mengamatinya dengan lekat, matanya bergerak ke kiri lalu memandang lurus ke depan ketika ku_tanya.
            Mulutnya komat kamit, menirukan gaya penghafal Al-Qur’an, tangannya bercerita sendu memukul-mukul lututku, kulihat air mukanya menjadi merah, dia mengomel mengadu padaku.
            “Tadi aku, aku di marahi mamanya Putra”, matanya basah, airnya mengarak turun di pipi. Suaranya naik turun mengulang keras nada tetangga. Tangisnya menggulung, memekak telinga.
            Aku membenarkan posisinya, sesekali kutanya “siapa yang memulai”?, dia hanya sesenggukan lalu membenamkan wajahnya dalam dekapku. Aku menjelaskan sesuatu, tanpa melihat ia hanya mengurut satu persatu kata-kataku. Kadang ia menoleh lalu berkata “tapi” dengan longlongan panjang.
            Aku terus membisikkan sesuatu, hingga bercerita tentang pak Sukar pemuat plastic bekas rumah tangga, “Adik tau?, pak Sukar tak pernah menangis sekalipun ia mendengar langkah tikus dan ulat, pak Sukar juga jarang marah meskipun dimarahi orang sepuluh. Pak sukar selalu tersenyum tuh”. Tambahku mengalun berwarna.
            Ia menggeser kepalanya, lalu duduk menempel pada lenganku, matanya berbinar dengan sisa air mata. Ia tidak banyak bertanya, ia lebih suka mendengarku menyelesaikan cerita. Hingga tiba-tiba pendangannya hilang ketika ku usap rambutnya dengan suara kucing menyanyikan lagu Nina bobok untuk anaknya.



Asmara atau gejolak?
            April  2015.  Jalan Pabrik Kulit, Surabaya.  Waktu baru bergeser dari pukul tiga dini hari. Dua ekor cicak saling memandang di bawah jam usang. Mereka asyik saling merayu, yang satu malu-malu bersembunyi, yang satu lagi dengan percaya diri mendekati, mereka seperti sedang bernyanyi, tanpa music namun kedengarannya serasi. “Ah cicak, romantic sekali kau ini”, kecak-kecakmu tak jauh beda dengan kecak tempatmu sembunyi.
            Apa kau sedang berdzikir pada Pencipta?, apakah kau bersenandung lagu-lagu asmara?, jangan dulu bicara tentang asmara. Lihatlah di luar sana, seekor kodok terhuyung-huyung sendirian. Ia tak berteman, mungkin ia ketinggalan sewaktu perjalanan. Kulihat blumbung-blumbung itu telah kering, biasanya mereka selalu  meraung-raung dan bersenandung sepertimu.
            Di balik rimbunan rumput teki, di antara dua pohon jati yang selalu menengadahkan jari, jangkrik-jangkik saling mengerik. Tikus-tikus saling berebut plastic dan menarik. Ah gaduh sekali mereka, tak jauh darinya, sederet gerbong panjang berderit-derit memamerkan suara. Kereta kuning membawa penumpang terkantuk-kantuk dalam lelapnya.
            Gemericik air tak henti mengalir, sebuah padasan tanah liat membuka pagi dengan isinya, mengucur panjang meniti mata kaki. “Ah dia bermain-main”, seorang gadis tengan membasuh kakinya hingga betis, yang kanan sudah sekarang ganti yang kiri.
            Agaknya, matanya masih sembab. Sesekali ia menguap dan memutar leher. Tanganya bersilang meng-amini, “Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu laa syariika lahu, waasyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, Allahummaj’alnii minattawwabiina, waj’alni minal mutathohhiriina waj’alnii min ‘ibaadikash shalihiana”. Wajahnya bersinar ketika di raut dengan tangan.
            Ia melirik setelan jam dalam poselnya, sudah jam tiga. Ia teringat, “Andai di kampung, mungkin ayam piaraan tetangga sudah menjerit, tarhim di surau-surau juga melangit. Berbeda dengan di sini, sepi!, hanya sayup-sayup terdengar syi’ir Gusdur jauh bernyanyi di masjid sana”.
            Malam telah larut, ia bangun lalu Qiyamul-lail dengan kekhusyukan yang benar-benar belum pernah ia alami. Dadanya bergetar dan ia menangis tersedu, lalu membuka seluruh cakrawala hatinya untuk diserahkan kepada Yang Maha Adil dan Mengetahui Rahasia Hidup.
            Sekilas ia suntuk dalam dzikir dan merasa mengantuk. Tak ingin tidur ia membuka galeri musiknya, memutar lagu ziyad Murattal dengan lirih, ketika sampai pada surat Al-isra’ ayat 24, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”, ia berkaca-kaca.
            Terbayang wajah orang tuanya yang telah menua, garis-garis berkerut telah terlukis. Tubuh mereka yang tak lagi segar namun senyum mereka  selalu harum, “ibu, bapak”, bisiknya pada hati. Ia ingat betul bagaimana bulan lalu ibunya mengantar hingga pelataran rumah dengan berat hati.
            “Ibu, aku merindukanmu”, ucapnya pelan sambil menyeka air mata. Lagu terus mengalun, kantuk mulai hilang, ia mencoba meraih buku dari rak belajarnya, membuka catatan pelajaran kuliah hari selasa. “Mesin kecerdasan manusia” judulnya.
            Ned Herman mengatakan bahwa ada empat belahan dalam otak yang memiliki fungsi khusus yang berkaitan dengan kecerdasan manusia. Otak berkaitan dengan semua bentuk kecerdasan. Otak inilah yang bekerja dan memproses segala data dan informasi. Namun pembicaraan mengenai otak seringkali menimbulkan salah paham. Otak tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan intelektual (IQ), melainkan juga kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan (AQ).[1]
            Berdasarkan teori belahan otak, dalam buku kubik Leadership dijelaskan ada 5 mesin kecedasan manusia: (1) Sensing (S), untuk belahan otak kiri bawah : orang dengan tipe ini memiliki keuletan, suka cara kerja yang teratur dan efisien, cara belajarnya ATM (amati, tiru, modifikasi), ia adalah pribadi yang teliti, suka mencari fakta dan mengandalkan pengalaman. (2) thinking (T), untuk belahan otak kiri atas: pada umumnya, orang dengan tipe ini adalah pandai, cara bekerjanya mandiri, terbiasa efektif. Ia suka menganalisis sesuatu dan pandai dalam mengejar akurasi.
            (3) Intuiting (I), untuk belahan otak kanan atas: ia adalah orang yang kreatif, imajinasinya liar, ia sering memunculkan gagasan baru dan tidak suka kerja dengan jadwal yang sistematis. (4) Feeling (F), untuk belahan otak kanan bawah: orang dengan tipe ini cenderung melibatkan emosi dalam tindakannya, ia adalah pribadi yang bisa mewarnai cerita sedihnya menjadi air mata dan cerita indahnya dengan gembira, bombastis istilahnya. Dalam hal ini ia lebih mudah membangun kerja sama dengan orang lain. (5) Instinc (In), bagian otak tengah: tipe ini adalah tipe serba bisa, namun jika tidak focus maka akan menyulitkan dirinya, cara bekerjanya spontan dan terbiasa bertindak responsive, ia juga pandai dalam hal-hal yang lebih taktis[2].
            Membaca sebentar, lalu menutup buku. Headsetnya masih tergantung di kedua daun telinga, kali ini lagu Zaujatii yang menyambung murattal telah usai. Sari mengulangnya, bibirnya mencecap mengiringi dehem dalam lirik cinta penuh arti. Sambil tiduran menunggu kumandang shubuh sebentar lagi. Ia menghayati kata per kata dari sajak lagunya:
Zaujatii (Istriku)
Uhibbuki mitsla maa anti Uhibbuki kaifa maa Kunti
(Aku mencintaimu apapun dirimu, Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu)
Wa mahmaa kaana mahmaa shooro, Antii habiibatii anti
(Apapun yang terjadi dan kapanpun, Engkaulah cintaku)
Zaujatii, Antii habiibatii anti
(Duhai istriku, Engkaulah kekasihku)
Halaalii anti laa akhsyaa 'azuulan himmuhuu maqti.
Laqod adzinaz zamaanu lanaa biwushlin ghoiri munbatti
(Engkau istriku yang halal, aku tidak peduli celaan orang.
Kita satu tujuan untuk selamanya)
Saqoitil hubba fii qolbii bihusnil fi'li wassamti
yaghiibus sa'du in ghibti wa yashful 'aisyu in ji'ti
(Engkau sirami cinta dalam hatiku dengan indahnya perangaimu.
Kebahagiaanku lenyap ketika kamu menghilang lenyap. Hidupku menjadikan terang ketika kamu disana)
Nahaarii kaadihun hattaa idzaa maa 'udtu lilbaiti
Laqiituki fanjalaa 'annii dhonaaya idzaa maa tabassamti
(Hari-hariku berat sampai aku kembali ke rumah menjumpaimu.
Maka lenyaplah keletihan ketika kamu senyum)


Tadhiiqu biyal hayaatu idzaa bihaa yauman tabarromti.
Fa as'aa jaahidan hattaa uhaqqiqo maa tamannaiti
(Jika suatu saat hidupmu menjadi sedih, maka aku akan berusaha keras.
Sampai benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan)
Hanaa'ii anti faltahna'ii bidif-il hubbi maa 'isyti.
Faruuhanaa qodi'talafaa kamitslil ardhi wannabti
(Engkau kebahagiaanku, tanamkanlah kebahaiaan selamanya.
Jiwa-jiwa kita telah bersatu bagaikan tanah tumbuhan)
Fa yaa amalii wa yaa sakanii wa yaa unsii wa mulhimati.
Yathiibul 'aisyu mahmaa dhooqotil ayyamu in thibti
(Duhai harapanku, duhai ketenanganku,
duhai kedamaianku,
duhai ilhamku.
Indahnya hidup ini walaupun hari-hariku berat
asalkan engkau bahagia)[3]

            Masih dengan santai bertudung mukena putih, Sari mengingat bacaannya tadi malam, sebuah novel karangan Abidah El Khalieqy perempuan penyair kontemporer Indonesia. Ia lahir dalam keluarga “besar” santri di desa Menturo, Jombang Jawa Timur. Dalam karyanya “Perempuan Berkalung Sorban” ia mengisahkan seorang perempuan cantik, putri Kiai yang tak memiliki kebebasan pada masaa kecilnya “Nisa, nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilaan. Apalagi keluyuran mengelilingi ladang, memalukan!!”. Sergah bapaknya ketika Nisa mengatakan iri kepada kakak laki-lakinya, kakak selalu mendapat kemerdekaan di luar rumah, bermain-main, belajar naik kuda dan kembali tidur setelah shalat shubuh, sedangkan aku? Aku harus membantu ibu di dapur, mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan dan bapak yang terus saja ngobrol di meja makan sambil berdahak[4].
            Nisa yang kecil itu kembali dirampas haknya setelah menikah, suami pertamanya seorang putra Kiai sahabat bapaknya, siapapun tidak tahu bahwa Samsudin adalah pesakitan, ia sering menyiksa  Nisa, meniadakan hak-hak atas istri, ia hanya meminta kewajiban istri atas suami.
            Suatu hari ibunya bertanya kepadanya, “Nisa, kapan kau ingin punya momongan?”, sekena hati Nisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya hingga terbuka semua masalah dalam rumah tangganya, “sejak malam pengantin sampai sekarang, tak bosan-bosannya ia menyakitiku, menjambak rambutku, menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku habis-habisan” .
            Ibunya mendelong tak percaya, hingga akhirnya rembukan keluarga digelar, bapaknya mengirim seorang hakam kepada keluarga Samsudin, dan jalan terakhir adalah perceraian antara Nisa dan suaminya.
            “Sepertinya berat sekali memainkan peran perempuan”. Sari bergumam sendiri di atas sajadahnya, ia masih menikmati lagu Zaujatiinya berulang-ulang. Ia mengait-ngaitkan isinya dengan perjalanan cinta Nisa yang kedua, bersama paman jauh dari ibunya. Laki-laki yang ia panggil Lek Khudhori itulah yang memenangkan hatinya. Mengkhitbah lalu menikahinya.

            Subhanallah, benar-benar berbeda sifat dua suami ini, jika yang pertama suka menghardik berbeda dengan yang kedua, penuh kasih penuh cinta dan pengertian, dari pernikahan keduanya, Nisa dikaruniai bayi tampan, mereka memberi nama Mahbub. Setiap hari mereka melalui suasana wahnan ‘ala wahnin, dengan keikhlasan dan kecintaan yang terus bertambah.
            Panggilan shalat berkumandang sahut menyahut. “Allah”, Sari meringis melihat atap, bibinya mesam-mesem tanpa teman, cicak-cicak di dindingpun seolah melotot menatapnya. Hahaha, ia mengejek binatang itu dengan menjulurkan lidahnya lalu meraup tangan ke wajahnya. Dengan dada bergetar seolah ikut kasmaran, ia menyibak mukenanya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan bersiap mengadu pada sang Khalik dalam doa Sholat Shubuhnya itu.


[1] Pradiansyah, Arvan. 2009. The 7 Laws of Happines. Bandung. Mizan Media Utama (MMU)
[2] Syarif, N Faqih. 2015. Kiat Menjadi Dai Sukses. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
[3] (ahmadfauzinasutionpemulungilmu.blogspot.com)
[4] Abida El Khalieqy. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta. Yayasan Kesejahteraan Fatayat.2001


4 komentar:

  1. Seperti judulnya.. tulisan yg menarik dg imajinatif berwarna yg indah

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih pak...kritik dan saran selalu saya tunggu

      Hapus