Aqillah Yovi Al-Rizqy_
Papan atom bergantung setengah menempel. Lonceng seruas
kelingking bertabrakan ketika tangan-tangan mengusiknya. Lagi-lagi kemerincingnya
menari. Lalu sepotong kelambu tergerai menyapu ke depan belakang. Lagaknya
seperti berjalan, ia maju mundur terusap angin.
Di sebelahnya, sebuah mesin jahit dilipat karena tua,
kayunya masih cokelat mulus, rodanya juga tak seret meski termakan usia.
Sekeresek obat ditambah tumpukan Koran-koran bekas sama dengan
tempat singgah, kadang botol mineral duduk manis menungguinya.
Ketika meja terlipat itu diusap, maka takkan ada sisa debu
atau minyak, kemoceng kayu dengan bulu-bulu angsa selalu menjamahnya tiap pagi.
Oh lihatlah, siapa bayi dalam bingkai abu-abu itu?, apakah
dia pemilik tatakan pembuat baju ini?, dia tersenyum, dengarlah!,
Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu, dengarkan, giginya mengetuk-ngetuk
seperti mengunyah, cecapnya terdengar lembut sekali, tangannya melambai meniru
sapuan kuas di kanvas.
“Mbaaak”, sebuah tangan kecil menarik kain
kepalaku. Setengah mendongak kuputar badan lalu meraih panggilan. Mulutku
membuat garis bundar, rahangku tertarik membuat garis segitiga.
Dengan bola mata pas di tengah aku melihatnya, seorang
anak kecil bermata jeli menarikku menjauh dari pigura. Aku mengamatinya dengan
lekat, matanya bergerak ke kiri lalu memandang lurus ke depan ketika ku_tanya.
Mulutnya komat kamit, menirukan gaya penghafal Al-Qur’an,
tangannya bercerita sendu memukul-mukul lututku, kulihat air mukanya menjadi merah,
dia mengomel mengadu padaku.
“Tadi aku, aku di marahi mamanya Putra”, matanya
basah, airnya mengarak turun di pipi. Suaranya naik turun mengulang keras nada
tetangga. Tangisnya menggulung, memekak telinga.
Aku membenarkan posisinya, sesekali kutanya “siapa yang
memulai”?, dia hanya sesenggukan lalu membenamkan wajahnya dalam dekapku.
Aku menjelaskan sesuatu, tanpa melihat ia hanya mengurut satu persatu
kata-kataku. Kadang ia menoleh lalu berkata “tapi” dengan longlongan
panjang.
Aku terus membisikkan sesuatu, hingga bercerita tentang
pak Sukar pemuat plastic bekas rumah tangga, “Adik tau?, pak Sukar tak
pernah menangis sekalipun ia mendengar langkah tikus dan ulat, pak Sukar juga
jarang marah meskipun dimarahi orang sepuluh. Pak sukar selalu tersenyum tuh”. Tambahku
mengalun berwarna.
Ia menggeser kepalanya, lalu duduk menempel pada lenganku,
matanya berbinar dengan sisa air mata. Ia tidak banyak bertanya, ia lebih suka
mendengarku menyelesaikan cerita. Hingga tiba-tiba pendangannya hilang ketika
ku usap rambutnya dengan suara kucing menyanyikan lagu Nina bobok untuk
anaknya.
Asmara atau gejolak?
April 2015. Jalan Pabrik Kulit, Surabaya. Waktu baru bergeser dari pukul tiga dini hari. Dua ekor cicak
saling memandang di bawah jam usang. Mereka asyik saling merayu, yang satu
malu-malu bersembunyi, yang satu lagi dengan percaya diri mendekati, mereka
seperti sedang bernyanyi, tanpa music namun kedengarannya serasi. “Ah cicak,
romantic sekali kau ini”, kecak-kecakmu tak jauh beda dengan kecak tempatmu
sembunyi.
Apa kau sedang berdzikir pada Pencipta?, apakah kau
bersenandung lagu-lagu asmara?, jangan dulu bicara tentang asmara. Lihatlah di
luar sana, seekor kodok terhuyung-huyung sendirian. Ia tak berteman, mungkin ia
ketinggalan sewaktu perjalanan. Kulihat blumbung-blumbung itu telah kering,
biasanya mereka selalu meraung-raung dan
bersenandung sepertimu.
Di balik rimbunan rumput teki, di antara dua pohon jati
yang selalu menengadahkan jari, jangkrik-jangkik saling mengerik. Tikus-tikus
saling berebut plastic dan menarik. Ah gaduh sekali mereka, tak jauh
darinya, sederet gerbong panjang berderit-derit memamerkan suara. Kereta kuning
membawa penumpang terkantuk-kantuk dalam lelapnya.
Gemericik air tak henti mengalir, sebuah padasan
tanah liat membuka pagi dengan isinya, mengucur panjang meniti mata kaki. “Ah
dia bermain-main”, seorang gadis tengan membasuh kakinya hingga betis, yang
kanan sudah sekarang ganti yang kiri.
Agaknya, matanya masih sembab. Sesekali ia menguap dan
memutar leher. Tanganya bersilang meng-amini, “Asyhadu an la ilaha illallah
wahdahu laa syariika lahu, waasyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu,
Allahummaj’alnii minattawwabiina, waj’alni minal mutathohhiriina waj’alnii min
‘ibaadikash shalihiana”. Wajahnya bersinar ketika di raut dengan tangan.
Ia melirik setelan jam dalam poselnya, sudah jam tiga. Ia
teringat, “Andai di kampung, mungkin ayam piaraan tetangga sudah menjerit,
tarhim di surau-surau juga melangit. Berbeda dengan di sini, sepi!, hanya
sayup-sayup terdengar syi’ir Gusdur jauh bernyanyi di masjid sana”.
Malam telah larut, ia bangun lalu Qiyamul-lail
dengan kekhusyukan yang benar-benar belum pernah ia alami. Dadanya bergetar dan
ia menangis tersedu, lalu membuka seluruh cakrawala hatinya untuk diserahkan
kepada Yang Maha Adil dan Mengetahui Rahasia Hidup.
Sekilas ia suntuk dalam dzikir dan merasa mengantuk. Tak
ingin tidur ia membuka galeri musiknya, memutar lagu ziyad Murattal dengan
lirih, ketika sampai pada surat Al-isra’ ayat 24, “Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil”, ia berkaca-kaca.
Terbayang wajah orang tuanya yang telah menua, garis-garis
berkerut telah terlukis. Tubuh mereka yang tak lagi segar namun senyum
mereka selalu harum, “ibu, bapak”,
bisiknya pada hati. Ia ingat betul bagaimana bulan lalu ibunya mengantar hingga
pelataran rumah dengan berat hati.
“Ibu, aku merindukanmu”, ucapnya pelan sambil menyeka air mata. Lagu terus mengalun, kantuk
mulai hilang, ia mencoba meraih buku dari rak belajarnya, membuka catatan
pelajaran kuliah hari selasa. “Mesin kecerdasan manusia” judulnya.
Ned Herman mengatakan bahwa ada empat belahan dalam otak
yang memiliki fungsi khusus yang berkaitan dengan kecerdasan manusia. Otak
berkaitan dengan semua bentuk kecerdasan. Otak inilah yang bekerja dan
memproses segala data dan informasi. Namun pembicaraan mengenai otak seringkali
menimbulkan salah paham. Otak tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan
intelektual (IQ), melainkan juga kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan
spiritual (SQ) dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan (AQ).[1]
Berdasarkan teori belahan otak, dalam buku kubik
Leadership dijelaskan ada 5 mesin kecedasan manusia: (1) Sensing (S), untuk
belahan otak kiri bawah : orang dengan tipe ini memiliki keuletan, suka cara
kerja yang teratur dan efisien, cara belajarnya ATM (amati, tiru,
modifikasi), ia adalah pribadi yang teliti, suka mencari fakta dan
mengandalkan pengalaman. (2) thinking (T), untuk belahan otak kiri atas:
pada umumnya, orang dengan tipe ini adalah pandai, cara bekerjanya mandiri,
terbiasa efektif. Ia suka menganalisis sesuatu dan pandai dalam mengejar
akurasi.
(3) Intuiting (I), untuk belahan otak kanan atas:
ia adalah orang yang kreatif, imajinasinya liar, ia sering memunculkan gagasan
baru dan tidak suka kerja dengan jadwal yang sistematis. (4) Feeling (F),
untuk belahan otak kanan bawah: orang dengan tipe ini cenderung melibatkan
emosi dalam tindakannya, ia adalah pribadi yang bisa mewarnai cerita sedihnya
menjadi air mata dan cerita indahnya dengan gembira, bombastis istilahnya.
Dalam hal ini ia lebih mudah membangun kerja sama dengan orang lain. (5)
Instinc (In), bagian otak tengah: tipe ini adalah tipe serba bisa, namun
jika tidak focus maka akan menyulitkan dirinya, cara bekerjanya spontan dan
terbiasa bertindak responsive, ia juga pandai dalam hal-hal yang lebih taktis[2].
Membaca sebentar, lalu menutup buku. Headsetnya masih
tergantung di kedua daun telinga, kali ini lagu Zaujatii yang menyambung
murattal telah usai. Sari mengulangnya, bibirnya mencecap mengiringi dehem
dalam lirik cinta penuh arti. Sambil tiduran menunggu kumandang shubuh sebentar
lagi. Ia menghayati kata per kata dari sajak lagunya:
Zaujatii (Istriku)
Uhibbuki
mitsla maa anti Uhibbuki kaifa maa Kunti
(Aku
mencintaimu apapun dirimu, Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu)
Wa
mahmaa kaana mahmaa shooro, Antii habiibatii anti
(Apapun
yang terjadi dan kapanpun, Engkaulah cintaku)
Zaujatii,
Antii habiibatii anti
(Duhai
istriku, Engkaulah kekasihku)
Halaalii
anti laa akhsyaa 'azuulan himmuhuu maqti.
Laqod
adzinaz zamaanu lanaa biwushlin ghoiri munbatti
(Engkau
istriku yang halal, aku tidak peduli celaan orang.
Kita
satu tujuan untuk selamanya)
Saqoitil
hubba fii qolbii bihusnil fi'li wassamti
yaghiibus
sa'du in ghibti wa yashful 'aisyu in ji'ti
(Engkau
sirami cinta dalam hatiku dengan indahnya perangaimu.
Kebahagiaanku
lenyap ketika kamu menghilang lenyap. Hidupku menjadikan terang ketika kamu
disana)
Nahaarii
kaadihun hattaa idzaa maa 'udtu lilbaiti
Laqiituki
fanjalaa 'annii dhonaaya idzaa maa tabassamti
(Hari-hariku
berat sampai aku kembali ke rumah menjumpaimu.
Maka
lenyaplah keletihan ketika kamu senyum)
Tadhiiqu
biyal hayaatu idzaa bihaa yauman tabarromti.
Fa
as'aa jaahidan hattaa uhaqqiqo maa tamannaiti
(Jika
suatu saat hidupmu menjadi sedih, maka aku akan berusaha keras.
Sampai
benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan)
Hanaa'ii
anti faltahna'ii bidif-il hubbi maa 'isyti.
Faruuhanaa
qodi'talafaa kamitslil ardhi wannabti
(Engkau
kebahagiaanku, tanamkanlah kebahaiaan selamanya.
Jiwa-jiwa
kita telah bersatu bagaikan tanah tumbuhan)
Fa
yaa amalii wa yaa sakanii wa yaa unsii wa mulhimati.
Yathiibul
'aisyu mahmaa dhooqotil ayyamu in thibti
(Duhai
harapanku, duhai ketenanganku,
duhai
kedamaianku,
duhai
ilhamku.
Indahnya
hidup ini walaupun hari-hariku berat
asalkan
engkau bahagia)[3]
Masih dengan santai bertudung mukena putih, Sari mengingat
bacaannya tadi malam, sebuah novel karangan Abidah El Khalieqy perempuan
penyair kontemporer Indonesia. Ia lahir dalam keluarga “besar” santri di desa
Menturo, Jombang Jawa Timur. Dalam karyanya “Perempuan Berkalung Sorban”
ia mengisahkan seorang perempuan cantik, putri Kiai yang tak memiliki kebebasan
pada masaa kecilnya “Nisa, nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda,
pencilaan. Apalagi keluyuran mengelilingi ladang, memalukan!!”. Sergah bapaknya
ketika Nisa mengatakan iri kepada kakak laki-lakinya, kakak selalu mendapat kemerdekaan
di luar rumah, bermain-main, belajar naik kuda dan kembali tidur setelah shalat
shubuh, sedangkan aku? Aku harus membantu ibu di dapur, mencuci piring
yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan dan bapak yang terus saja
ngobrol di meja makan sambil berdahak[4].
Nisa yang kecil itu kembali dirampas haknya setelah
menikah, suami pertamanya seorang putra Kiai sahabat bapaknya, siapapun tidak
tahu bahwa Samsudin adalah pesakitan, ia sering menyiksa Nisa, meniadakan hak-hak atas istri, ia hanya
meminta kewajiban istri atas suami.
Suatu hari ibunya bertanya kepadanya, “Nisa, kapan kau
ingin punya momongan?”, sekena hati Nisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya
hingga terbuka semua masalah dalam rumah tangganya, “sejak malam pengantin
sampai sekarang, tak bosan-bosannya ia menyakitiku, menjambak rambutku,
menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku habis-habisan”
.
Ibunya mendelong tak percaya, hingga akhirnya rembukan
keluarga digelar, bapaknya mengirim seorang hakam kepada keluarga Samsudin, dan
jalan terakhir adalah perceraian antara Nisa dan suaminya.
“Sepertinya berat sekali memainkan peran perempuan”. Sari bergumam sendiri di atas sajadahnya, ia masih menikmati lagu
Zaujatiinya berulang-ulang. Ia mengait-ngaitkan isinya dengan perjalanan cinta
Nisa yang kedua, bersama paman jauh dari ibunya. Laki-laki yang ia panggil Lek
Khudhori itulah yang memenangkan hatinya. Mengkhitbah lalu menikahinya.
Subhanallah, benar-benar berbeda sifat dua suami
ini, jika yang pertama suka menghardik berbeda dengan yang kedua, penuh kasih
penuh cinta dan pengertian, dari pernikahan keduanya, Nisa dikaruniai bayi
tampan, mereka memberi nama Mahbub. Setiap hari mereka melalui suasana wahnan
‘ala wahnin, dengan keikhlasan dan kecintaan yang terus bertambah.
Panggilan
shalat berkumandang sahut menyahut. “Allah”, Sari meringis melihat atap,
bibinya mesam-mesem tanpa teman, cicak-cicak di dindingpun seolah
melotot menatapnya. Hahaha, ia mengejek binatang itu dengan menjulurkan
lidahnya lalu meraup tangan ke wajahnya. Dengan dada bergetar seolah ikut
kasmaran, ia menyibak mukenanya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan
bersiap mengadu pada sang Khalik dalam doa Sholat Shubuhnya itu.
ayo ayo............
BalasHapushahahaa..baca pak
Hapusmakasih kunjungannya
Seperti judulnya.. tulisan yg menarik dg imajinatif berwarna yg indah
BalasHapusmakasih pak...kritik dan saran selalu saya tunggu
Hapus