SELAMAT DATANG DI BLOG B3 Baiti Bbytieh Blog

Minggu, 26 April 2015

GARIS HIJAU CEMERLANG

Kemuning_


            “Sepanjang  jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangan, sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesrah!, hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, tak mungkin lepas dari ingatanku!!”, Cep, bibir merekah, tangan berlenggak-lenggok menggenggam sisa sarang tawon.
            Tembang lawas membuka inspirasi, menemani hilir syahdu angin balok-balok bumi. Di atasnya, si Cantik bersayap asyik  bercuit, menyambar kaleng-kaleng susu terikat, “teng_Crek_tak_tak_tak_teng”, merekalah si cantik penyerbu biji-biji padi.
            Di sudut sawah berpetak, Maria duduk merenung, Kakinya terjuntai dari papan terpaku, memandang kosong daun-daun Pujan berguguran. Satu demi satu kaleng bekas itu bertemu. Maria terkaget, Sesuatu menjerit-jerit di sana, “Oh si burung nakal”, umpatnya meloncat dari tempat duduk semula.
            Dari seutas senar di tangannya, ia mengurut jalan menyibak batang-batang tanaman. Mencari di mana suara takut itu?, “ya, lagi-lagi kamu dan teman-temanmu, kalian mengusik lamunanku, mengerjai hasil keringat ibuku, oh burung, hati-hatilah, aku menaruh jebakan untuk menakutimu, bukan untuk menyakiti kaki-kaki kecilmu. Makanlah, tapi jangan rusak padi-padi ini. Kau usil, kau selalu memotong kepala-kepalanya dengan paruhmu, sekarang terbanglah. Kembalilah dengan cara yang baik, makan dengan sopan!”, Ia bergumam memarahi binatang tak mengerti itu.
            “Maria, lagi apa nduk?”.
            “Dalem budhe, hehe niki lho, si emprit nyangkut tali”. Maria terkekeh menjawab sapa tetangganya. Ia mengangkat badan, memandang binatang kecil dalam tangannya, “terbanglah!”, perintahnya lagi.
            Waaaaw, burung itu tersenyum, matanya berucap syukur, kakinya menyepak bersalaman. Maria-pun terbawa, bibirnya bergaris seperti bulan sabit,. Ia mengayun tangannya, lalu merenggang dan melepas. “sampai jumpa teman!”
            Hamparan sawah melintang luas, jejak-jejak petani membekas stempel kaki. di sebelah barat, Maria melihat pakleknya tengah mencangkul. Punggungnya mengkilap memantul matahari tenggelam. “Jam setengah lima, pulang dulu ah”, ia melangkah mendekati papan teduhnya, ponselnyapun masih menyanyi lagu yang sama.
            Jalan setapak, tanah melengket menarik alas kaki, Maria berjuang kadang oleng lalu terpleset, loncatan udang sawah menari-nari dalam irigasi dangkal. Ia tertawa sendiri, sepasang swallow ia tenteng kanan kiri, dia terus berpikir, “Besok aku harus kembali ke Surabaya”. Ia berlalu beriring dengan sang surya menutup matanya.


"Sebatang kara"


            Kepul asap menghitam semakin tinggi, teriak demi teriak tak memadamkan bara. Bunyi cletak-cletuk semakin keras, laki-laki perempuan keluar rumah, satu persatu dari mereka saling mengomando “air, air, ya langsung siram!”.
            Di bawah gapura jalan tengah. Seorang nenek meremas ujung sarungnya, menangis meronta meminta tolong, bunyi kaca pecah menambah gugupnya. “ya Allah, ya Allah, tolong ya Allah”.
            Bibirnya gemetar sejak tadi, kakinya selonjor tanpa daya, tangannya melambai-lambai berharap sesuatu, suatu keajaiban. Rumah rotannya tengah dilalap si jago merah. Ia meratap memandang huniannya, atap depan telah rata dengan tanah, bagian sampingnya sudah roboh setengah, samar-samar terlihat gosong kayu bakar, melahap sana, menjilat sini.
            Nenek Riama membenarkan tudungnya, sobekan kain ia usapkan matanya yang berair. Ia hanya pasrah ditemani ibu-ibu rumah tangga, “sudah nek, yang sabar jangan sedih, biar bapak-bapak membantu memadamkan apinya, nek Yama di sini saja”.
            Api telah padam, Potongan-potongan kayu tersebar, puing puing tiang berhamburan, pecahan-pecahan kaca menghitam tak lagi jelas. Nenek Yama dengan tergopoh-gopoh mendekati susunan rotan tak beraturan, dua karung padi dalam lumbungnya telah menjadi abu. Ia punguti sisa-sisanya, mungkin hanya segenggam, “le, le,, sepisan ae gawe mbakyu-mu lega”, ia mengipas rapuhan dalam lengannya.
            Dua helai ubanya menggaris di antara alis, ia merenung, di mana anaknya?, tidakkah ia tahu kabar kesepian dari dirinya, akankah ia pulang lalu memeluknya?, perempuan tua ini menangis lagi, “Adikku, kau selalu datang dengan santaimu, dulu kau takar beras-berasku, kau bawa lari ayam babonku, sekarang kau membuat ulah membakar rumahku dengan sulut rokokmu. Ya Rabbi, maafkanlah saudaraku, sadarkanlah pikiran anakku”.
            Buah hati dan saudara, sebuah pelengkap dalam keluarga, semua tak bersatu, anak merantau tak lagi bersua, family ada tidak untuk menemani. Suami telah kembali di Sisi Illahi. Sepi dalam hati, sedih dalam dada, merintih tersakiti.
            Nek Yamma mulai bangkit, tetangga datang bergotong royong membangun rumah sederhana, lebih kokoh dari bambu sebelumnya, ia mulai tersenyum, sisa-sisa kayu lapuk terikat menjadi kayu bakar, bata pecah tertata sebagai pemanas panci, menanak nasi dalam kendil sedang satu suapan.

Kembali ke peraduan


            Fajar menyingsing, bekal mulai dikemas, tas punggung polo berjejal barang bawaan. “berasnya sudah di masukkan nduk?”, “sampun bu”. Di ruang tengah, televisi masih berbunyi, tayangan sepakbola bergambar pemain-pemain saling berlari. Huru-hara nada supporter menyemangati, “Qil, mana charger mbak?”, “di kotak plastic laci atas mbak, oya laptopnya tinggal ya, hehe”, “ngawur!!”. Maria menjawab celotehan adik laki-lakinya, si Aqillah.
            “Belajar yang rajin, bantu ibuk!!, baru dapat laptop, wee”. Matanya menyipit, kakak adik ini saling meledek. Ibunya di dapur mengorek cumi setengah matang, baunya harum aroma lengkuas, pedas merekat. Sesekali ia bersin-bersin menyumbat hidung dengan telapaknya.
            Maria masih meneliti barangnya, sebotol air mineral ia selipkan pada saku samping, setepak nasi putih dengan lauk masakan ibunya ia tata rapi di antara jajan dan minyak goreng. “buk………….., Maria mau berangkat, sudah di jemput lek Hasan”. “mana lek-mu?, lo San ayo masuk dulu, sarapan sek, baru berangkat. Ini nanti antar sampai stasiun lho yo,,,jangan di tinggal adikmu, kalau belum naik kereta”. “ia yuk-Tin, iya”.  Lek Hasan menjawab permintaan mbakyu-nya dengan senyam-senyum. Ia  memang suka khawatir. Maria saja sampai geleng-geleng meringis “ibuk iki lek-lek”.
            Angin berembun menggigit tulang, jaket wol dan syal rajutan ia sampirkan pada lehernya. Tatapan kunang-kunang menyerbu pandangan, menyalam pipi bagai kecupan ibunya ketika berpamitan, “lek, ayo balik, kangen ibuk”. “wes niat cari ilmu kok setengah hati, nduk". Lek Hasan menepis ucapan Maria, usia mereka terpaut delapan tahun, pantas kalau mereka dekat, lebih-lebih usia pekleknya setara dengan kakaknya.
            Jam bergeser pada pukul lima tepat, lima menit lagi sampai stasiun kota, suara berderit-derit mulai terdengar, ia memeriksa tiket komuter ekonomi dalam saku celananya, dua hari yang lalu ia telah memesan untuk keberangkatan Lamongan-Surabaya, “jam jalan 05.15 Am lek”, jawabnya ketika ditanya.
            Ransel penuh muatan terasa berat di bahu kirinya, tanganya mendekap bungkusan kertas dengan erat. “lek, makasih, salam ibuk di rumah ya  lek”, “iya, kamu juga hati-hati, dompete di primpeni (red. diteliti) lho nduk”.
            “Nggeh lek”.
            Maria bertolak punggung mendekati pintu masuk, ia sodorkan tiket keretanya untuk diperiksa. Petugas jaga pagi itu terlihat ramah ketika menyapa “selamat pagi”, dengan senyum ala waiters menyenangkan hati para calon penumpang.



            “Huaah”, matanya merah, kantuknya mulai bertanda dengan menguap, di sebelah pintu ia bersandar, kursi kuning panjang berhimpit kaki-kaki berebutan. Tua muda saling berdekatan, tanpa saling mengenal mereka memasang muka tak berteman, diam tanpa bisikan.
            Kereta terus melaju, kerikil tergilas bersama besi-besi. Gerbong-berbong berseru “ayo kita menyanyi dengan puisi, puisi indah tanpa bait-bait, keraskan lagi suara kalian, agar telinga tikus-tikus sawah itu menjadi pekak dan mereka pergi”.
            Matanya masih lekat, ular berat itu telah sampai di Surabaya, di Stasiun Pasar Turi. Maria melongok lewat jendela, petang remang-remang telah berganti dengan benderang. Ia melangkahkan kakinya melewati jalan pintas menuju halte bus. Seperempat jam berdiri belum ada angkutan lewat.
            Pukul delapan ia harus kembali kuliah, ia gamang kalau-kalau ia telat lagi hari ini, tugas etika dakwah juga postingan blog Teknik Khitobah , telah ia garap dengan sungguh-sungguh. Lalau lalang pejalan menghalangi kencang laju muatan, bus kota Bungurasih mulai lewat. Ia beranjak dari duduknya lalu berkata “Pabrik kulit pak”.
            Kernet langsung paham, “karcis baru”, Maria mengeluarkan selembar lima ribuan padanya, ia menoleh ke kanan, menempelkan tangannya pada kaca berdebu, “Kampoeng Ilmu", kepalanya memutar sampai belakang, ada sesuatu yang ia pikirkan, ia ingin membeli beberapa buku di sana, novel juga buku-buku bacaan. “emm, nanti dulu lah”, gumamnya.
            Kupang, Pasar Kembang hingga Wonokromo telah lewat, angkutan umum itu semakin mendekati tujuan, perbelanjaan besar menjulang tinggi berdiri tegak di kanan jalan, pedagang kaki lima berjajar di sebelah lampu merah, jalanan macet tidak terjadi seperti biasa. Lancar tanpa berderet.
            “Pabrik kulit ya pak”, Maria mengingatkan laki-laki di depannya, pak sopir dengan kaca mata hitam anti silau, dandananya tua namun seperti anak muda. Usianya masuk kepala lima, tapi ia masih semangat luar biasa, terkadang menggoda dengan pantun-pantun lucunya.






 Memadu hal baru



  Selasa, 21 April 2015. Tema kuliah hari ini adalah seputar Host/ presenter. Setelan orange dengan blazer hitam menjadi pilihannya, kerudung polos persegi ia putar mengikuti dahi. “sudah pantas”, pikirnya.
  Ia menaiki tangga, langkah santainya tanpa gugup menuju ruang kelas. Ia urut pegangan tasnya agar tak jatuh dari bahu. Di belakangnya, dewi berjalan menyusul. “Maria, tunggu”. Nafasnya naik turun mengikuti goyang tubuh besarnya. “baru jam dua belas”, toleh Maria lalu berkata-kata.
  ”ya, meskipun baru jam dua belas, kita kan harus cepat sampai”.
  Perkuliahan ke delapan, setiap hari ada saja hal baru, jika bulan pertama, mahasiswa dijejali dengan teori dalam buku Ilmu pidato, bulan kedua kelas lebih bernuansa rilex, Prof Ali mengundang dosen luar kelas untuk membagi ilmu mereka.
  Pertama, Dr. N. Faqih Syarif H, S.Sos.I, M.SI, penulis buku Best MotivationAl quwwah ar ruhiyyah Kekuatan Spirit tanpa Batas. Ia adalah seorang Motivator Spiritual yang dengan ikhlas menyumbangkan ilmunya bagi para mahasiswa. Selasa, 7 April 2015 ia memberikan materi tentang “HIT” , bukan nama produk obat nyamuk. H= hancurkan yang tidak tampak, I= impian-mu tuliskan dan T= tingkatkan valensimu.
  Pada pertemuan itu ia menjelaskan tentang beberapa hambatan yang sering menjadi penghalang bagi orang-orang sukses, yakni pikiran negative, alasan usia, alasan fisik, alasan nilai dan yang terakhir adalah alasan nasib.
  Di akhir perkuliahan ia mengatakan “kita harus patahkan penghalang yang tidak tampak, gampang sekali merobohkan gedung, tapi merobohkan rasa malas? Pikiran negative? Kita kan harus melawan!”!. Sorak serentak mahasiswa mewarnai kelas yang didngin pada hari itu.
  Selasa, 14 April 2015. Pak faqih mengisi kelas retorika semester enam kembali, tema pada hari itu adalah tentang mesin kecerdasan manusia (red, otak). Seperti biasa prof Ali selalu menugasi mahasiswa untuk menulis setiap hasil perkuliahan, sekalipun beliau tidak hadir saat itu, karena sebuah udzur tugas. Khilmy dalam Blognya merangkai materi dengan judul “mesin usil si besung”, beberapa teman yang lain juga memosting tulisan dengan judul yang sangat menarik.
  Berbeda lagi dengan selasa, 21 April 2015. Pada pertemuan kali ini dosen tamu yang mengisi materi adalah bapak Addin khadiri. Ia adalah seorang praktisi TVRI Jatim. Dengan kemeja rapinya , perutnya terlihat ketat pada kain putih licin itu. dua kancing pada lengannya terjepit dengan kuat, kumisnya bergerak-gerak ketika ia mengucapkan sesuatu.
  “Bagi anda calon presenter, mencoba mike itu jangan  satu dua“huff , huff”. Pak Addin meraih pengeras suara yang telah disiapkan oleh fathur. Beliau memperagakan bagaimana cek mike yang benar, “cukup diketuk (tuk,tuk,tuk), karena pengeras seperti ini memiliki material berupa lapisan tipis, jika ditiup, bisa-bisa ia robek dan rusak sehingga mempengaruhi kualitas mikrofon”.
  Hooooo, mahasiswa melongo mendapatkan informasi baru. Fathur cengar-cengir menerima gelak teman-temannya.
  Prof Ali berdiri di belakang pak Addin, penampilan dengan sepatu sport berpadu kemeja  dan pantalon hitam membuatnya terlihat seperti Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Tidak berlama-lama, beliau mohon diri untuk meninggalkan kelas dan perkuliahan di pimpin oleh praktisi TVRI ini.
  “Kita kembali pada permasalahan pokok, bagaimana menjadi seorang host atau presenter, kalau dulu disebut pewawancara, atau pembawa acara”.
  Ada beberapa modal yang harus dimiliki oleh seorang host: pertama, memiliki wawasan yang luas sesuai dengan ilmu presenter, dewasa ini banyak sekali seorang presenter yang berangkat dari seorang figur, dia adalah selebritis, aktris aktor, bintang film yang notabenenya,  sebagian besar mereka tidak belajar seperti kalian dikampus. Tetapi berangkat karena dia adalah seorang public figure yang sudah dikenal oleh masyarakat, mampu berbicara, keberanian sudah ada mental sudah bagus karena mereka banyak pengalaman-pengalaman sehingga keberanian mereka tampil sudah tidak ada persoalan.
  Kedua, memiliki kemampuan berbahasa dan berbicara yang baik. Jika membahas tentang hal ini, maka erat kaitannya dengan suara. Seorang presenter harus mampu mengolah suara agar menghasilkan kesan yang tidak membosankan, kadang menggunakan gaya lion style terbata-bata e saya ee, tadi e,, cara menanggulanginya adalah dengan menarik kalimat akhir menjadi lebih panjang. Karena di saat itu otak berputar dan mulut menyiapkan apa yang akan kita katakan.
  Dari pengalaman praktisi Televisi itu, ia mengatakan, modal pendukung dari seorang presenter adalah bisa menyanyi, “ada teman profesi saya, dia sangat terkenal dengan keahliannya, namun sayang sekali tidak bisa menyanyi. Mengapa disayangkan?, Karena dengan menyanyi orang akan bisa bermain-main dengan keindahan nada sehingga kata per kata, kalimat perkalimat dapat tersuarakan dengan merdu.”
  Ketiga, presenter harus tampil menawan dan ramah. Menawan bisa dimaknakan menawan dalam riasan, dalam hal busana dan lainnya. “menurut para juri, saya ini memiliki wajah camera face”, pak Addin mengenang seleksi presenter 30 tahun yang lalu. “ya saya doakan, semoga ada dari kelas ini satu atau dua yang nyantol menjadi seorang presenter”, aminn aminn semuanya masuk aminn, mahasiswa mengangkat tangan serentak,
  Tak terasa jam sudah bergeser pada pukul dua, Choelidah yang duduk pada barisan kedua mengacungkan tangan “saya mau bertanya pak, bagaimanaka nada suara yang dibenarkan bagi seorang presenter?”.
  “sekarang berdiri, coba anda perform ke depan”.
  Ia menarik bibirnya lalu berkata, “haduuuh”, seperti biasanya, ia selalu memamerkan senyum manisnya, ia mengangkat lengan bajunya, sesekali melambaikan tangan karena malu. Satu persatu peserta kelas maju untuk tampil. Hingga pada giliran fathur, semua wajah menatap ke arahnya, lagi-lagi ia mendapat celetuk “abot akik-e”. dua jari tengahnya, kanan kiri selalu bergonta-ganti mata cincin, kata teman lainya “Fathur makelar akik”.
  Presentasinya agak lama, mungkin karena gugup atau yang lainnya, pak Addin mengatakan “ini over convident, gelisah atau percaya diri yang berlebih, apa-apa yang berlebihan, hasilnya akan kurang baik”. Nietra manggut-manggut melirik Maria
  Gelak tawa, diam dalam setiap koreksi menjadi fariasi suasana dalam kelas. Prof Ali yang telah memasuki kelas sejak tampilan kedua, yakni penampilan Khilmi duduk bersandar pada kursi, kakinya menyilang.
  Sekali saja, beliau tidak pernah mencela hasil anak didiknya, gayanya yang tenang selalu menciptakan sindiran-sindiran yang memotivasi, “Hidup itu masih koma”, kalian tidak bisa dihakimi sekarang, dua tahun ke depan mungkin kalian tidak seperti saat ini. Plok,plok,plok tepuk tangan riuh menanggapi harapannya.
Setelah berbincang-bincang dengan pak Addin, beliau menutup perkuliahan dengan doa yang di maini oleh seluruh penghuni kelas, amin, amin, amin..
“Ya Allah Engkaulah yang Maha mengampuni
jauhkanlah kami semua, saya sebagai dosen dan pak Addin sebagai dosen anak-anak-anakku sekalian ini dari dosa.
Ya Allah jadikanlah matahari terbit dari ufuk timur
 bahkan itulah masa depan cerah bagi anak-anak kami.
Ya Allah ketika matahari terbenam di ufuk barat
kami yakin bahwa kegelisahan apa saja juga ikut terkubur
bersama tenggelamnya matahari pada sore hari.
Ya Allah Engkaulah yang telah meurunkan nabi Daud as
dan menganugerahkan suara terindahnya.
Ya Allah alirkan kekuatan dan keindahan sura nabi Daun kepada anak-anak kami
Ya Allah berikanlah kami keindahan membaca Al-Quran
seperti abu musa Al-Asyari
atau keindahan Abdullah bin Mas’ud sehingga membuat Rasulullah tertegun ketika mendengarnya.
Jadikan kami senang membaca al_Quran
jadikan kami tiada hari tanpa membaca Al-Quran
dan harus membaca Al-quran
Jadikan anak-anak kami menjadi penerus dakwah melalui tulisan
Jadikan kami semua menjadi penerus dakwah nabi Muhammad SAW
Jadikan diri mereka cahaya yang mencahayai diri mereka sendiri
dan jadikanlah tutur kata mereka menjadi cahaya untuk setiap orang di sekelilingnya.
Rabbana aatina fiddunyaa hasanah, wafil akhirati hasanah waqina Adza bannar.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar