Selasa,
7 April 2015
Part I
Setelah menyisir bulu matanya, ia terlihat lebih segar, polesan bedak tipis dengan goresan pena mata membuat sederhana dandanannya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka diliriknya sebuah jam dinding bulat dengan garis tepi hijau tua, bergambar tokoh pemerintahan, seorang pakde berkumis tebal_ dengan kaca mata bergagang hitam. ya…lagi-lagi ia tersenyum menampakkan barisan giginya, suara jarum jam mengusap wajah pakde “oh pakde Karwo, cepat sekali kau berputar?”.
Citra
masih sibuk menyerasikan baju, membolak-balik rok hitam yang agak kusut bagian
belakangnya. “hujan_hujan, andai kau tak turun, mungkin aku sudah di kampus
sekarang”. Ia bergumam agak menyesal sambil bercermin di kamar kosnya.
Rumah bercat anggur dan daun itu tampak tak berpenghuni, tak nampak satupun
temannya ketika ia datang tadi, tempat singgah bertetangga tanah kosong, tempat
tinggal berhadapan rumah tua, bekas kontrakannya dulu.
Genteng
press basah sejak dini hari, angin dingin beradu dengan gerimis, menyapu penghuni
kelas dalam sebuah fakultas, membungkus tubuh merasuki tulang belulang, karena
ditambah pendingin ruangan tersetel minus 18c. Alangkah dingin siang
musim penghujan, mengalahkan malam musim matahari bersinar.
“Kita
adalah mahasiswa yang dimanja, lihat saja lantainya_ tetap putih sekalipun kita
tak pernah menyapu. Hanya beberapa debu tersebar di bawah bangku, apalagi di
kaki meja guru (red dosen). Jika dahi-dahi kita bersentuh dengan kotak
ubin-ubin itu, kita akan bergumam “Manusia tercipta dari Turab (tanah),
hidup menyatu dengan tanah, kemudian beberapa saat lagi tak berjarak dan
menyatu dengan tanah”.
Maka
mengalirlah kehangatan yang asing, seperti dalam sujud kita seminggu yang lalu
di kelas ini Radega, kehangatan yang dikirim oleh Tuhan secara diam_diam, tanpa
sepengetahuan segerombol laki-laki dan perempuan di bawah tangga, dan para
dosen di wilayah gedung A, juga Kajur KPI (Komunikasi Penyiaran islam) pak Anis
Bachtiar.
Choelidah
dan Radega saling bercakap dalam ruangan D1.211, kelas berkolom dua itu
masih sepi, bangku kayu dan spons bersandar besi berjajar empat baris
bersebelahan. Wajah mereka masih basah, mereka telah berwudhu dengan
tetesan-tetesan air, bukan pancuran. Kran putar kamar mandi Fakultas Dakwah
gedung B tak lagi maksimal berfungsi, air dalam bak mandipun hanya sejengkal
ukuran tangan, bahkan untuk mencuci kaki butuh tenaga untuk meredam suara torek-torek
gayung yang bolong.
“Assalamualaikum”,
salam laki-laki berkacamata dengan tas ransel hitam terasa berat di
punggungnya. “Lho, mana teman-teman ini?” logatnya khas Madura swasta.
Ia merogoh ponsel dari saku kemeja kunyit lalu memijatnya “Monggo merapat ke
kelas, jamaah sama Prof”, ia_pun mengirim ke beberapa teman kelas yang belum
hadir.
Syamsu,
Matahari. Sebuah benda langit yang bersinar, sama bersinarnya dengan
prestasi yang ia raih. Di usia 20 tahun ia telah meraih banyak kegemilangan,
ketua Ma’had UINSA, motivator seminar motivasi, peraih Ipk tertinggi Fakultas
Dakwah tahun 2015, menjadi mahasiswa kesayangan dosen, sampai berdiskusi
kristologi dengan beberapa Misionaris luar Negri. Luar biasa!!!
Ia
mengangkat kepala, ketika mendengar suara berisik alas kaki,. “Assalamualaikum”,
suara Fathur diikuti Faizin, Hisyam, Mat zein dan beberapa mahasiswa di
belakangnya. “Lho, Prof Ali di mana?”, tanya salah satu dari mereka
menghidupkan suasana, “Oh, Prof masih di ruang dosen, sebentar lagi pasti
naik”. Sahut Radega yang duduk di sebelah Choelidah.
Benar
saja, belum sampai satu menit Radega berucap, datang laki-laki paruh baya, pemberi
hadiah tasbih pada mahasiswanya, selasa kemarin. “Assalamualaikum ”,
“Wa’alaikum salam”. Jawab sepuluh mahasiswa yang siap berjamaah bersama
dosen tinggi tegap itu.
Kemeja
putih celana hitam dengan ikat pinggang berjenis menjadi Busananya siang ini, “tolong
mbak, mas, sisihkan saja bangku-bangku ke sisi, kita sholat di tengah”,
ucapnya sambil mengamati kelas, bola matanya menari ke kanan kiri melihat-lihat
ruangan, “sudah bawa koran?, atau pakai alas apalah sebagai sajadah,
tidakkah tanah ciptaan Allah itu suci?”. Kemudian mereka shalat dengan
kertas berita dan beberapa lembar kain, untuk mengalasi keramik berdebu jarang
itu.
Di
luar masih hujan, gerimis lembut tak berhenti hingga tengah hari ini. Citra masih
punya waktu 25 menit untuk sampai ke kampus. Ia tampak terburu-buru mengambil
gantungan baju dibilik belakang kost tempat menjemur. “kalau tidak karena
basah hujan, pasti gak pake acara ganti baju”, lagi_lagi ia menggerutu. “Saya shalat di rumah pak, baru dtg dr
antar anak lesku sekolah. Ini basah2.an jadi bebersih dulu”. Tangan kirinya
lihai mengusap layar ponsel warisan, menjawab pesan dari nomor baru, ia
yakin, dari teman kelasnya.
Baju
terusan itu, ia sampirkan pada gantungan, sesekali ia kipaskan agar tak terlalu
menetes karena basah. Ia lalu menyibak korden hijau penghias jendela, sambil
menunggu adzan ia merapikan kembali setelannya, dari yang terusan berganti
dengan rok hitam dengan kaos rajutan. “Oh pakde karwo, kau telah menunjuk
pukul 11.40 Am_mu, baiklah aku akan menghadap Tuhanku”.
Setelah
usai, ia menyambar tas lengan di tumpukan kardus lalu menyelimutkan jaket di
bahunya, sepedah butut pemberian, ia
geser agar bisa belok menuju pintu kontrakan, “Dinginnya..”,
angin berhembus memaksa masuk dari celah daun pintu yang ia tarik.
Kembang
kamboja mekar di samping rumah, burung beo milik tetangga terlihat mendengkur
melipat sayapnya. Butir-butir air langit membuat segar belimbing yang baru tumbuh
sebesar kelingking. Oh Tuhan, betapa indahnya karunia_Mu.
paving
banyak yang ambles, menciptakan genangan tempat berenang seekor kodok,
Citra asyik mengayuh sepeda jaman dulunya “huuuuh,,,,,kapok telaaaat,,,,,ayo
semangat sepedaaa”. , Saking semangatnya, dengan sekali goesan ia mampu
menggambar sudut 90o, cipratan air keruhpun terlihat saling meloncat
dari gelinding rodanya.
Citra
masih di jalan, tampaklah sebuah gang berukuran satu meter, ia memarkir
tumpangannya asal-asalan, asal tak roboh, asal tak menghalangi pejalan
pikirnya. Beberapa saat setelahnya ia telah sampai pada pintu darurat, gerbang
gang dosen yang mengenaskan, potongan bata dan pecahan esbes menjadi jembatan
di atas comberan. Ia melangkahkan kakinya setengah meloncat, kain rok payungnya
ia angkat agar tak memal terjulur pada bebasahan.
Part II
Ia meremas jari dan mengosok tangan supaya
hangat, ada yang menepuknya dari belakang. “ayo cepat, sudah shalat?”, “Oo
sudah”, jawabnya lalu menaikkan kain tasnya yang sedikit melorot dari bahu.
Khilmy,
Dewi dan Citra berjalan beriringan melangkah kilat. tegel lantai sekitar pintu
gang adalah tanah yang pecah-pecah dengan gundukan serbuk dan bata berserakan
tak rata. Di sekitar halaman, seorang laki-laki bertubuh besar bergerak prok_prok
meraih stang motor mahasiswa tak tepat pada garis pembatas. Seragam biru
dongker dengan sabuk metenteng melingkari perutnya yang agak buncit. “Mari
pak”, sapa mereka melewati satpam yang berjaga di parkiran fakultas dakwah.
Lain
halaman lain kelas, suasana ruangan itu sangat redup, lampu penerang dimatikan,
beberapa mahasiswa berjejer dengan tinggi tak sama, dua jamaah bermukena juga
khusyuk melakukan sembahyang bedhug bersama mantan dekan Fakultas
dakwah, Prof. Dr. Moh. Ali Aziz. M, Ag
Penulis
buku TSB (Terapi Sholat Bahagia) mengawal para jamaah untuk memasrahkan
diri, merasakan kehadiran Allah SWT yang mengambil alih semua masalah yang
dihadapi. Rumus dalam Ketenangan rukuk dan sujud ini, ia temukan ketika ia
mengalami sakit, suara yang tiba-tiba hilang selama enam bulan, dilanjutkan
dengan penyakit punggung dan lututnya sehingga ia harus rukuk dengan perlahan
menahan sakit dan lebih lama. Meski demikian ia tak pernah su’udhon pada
Pencipta, “aku harus istirahat dan banyak berguru kepada sufi melalui
buku-buku tasawwuf, aku harus memaksa rukuk dan sujud lebih lama, lebih tenang,
tidak tergesa-gesa dan memahami makna doa di dalamnya”[1].
Subhanallah,
betapa Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba_Nya, Ia tak ingin umat
Muhammad menjadi lalai karena sibuk, Ia mengirim hikmah terbesar di balik suatu
cobaan.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu”.
Alunan salam membatalkan shalat, jamaah baris depan bergantian meraih tangan
Professor untuk mengecupnya, ritual dilanjutkan dengan dzikir dan panjatan doa,
pesholat komat-kamit mengucap tasbih, tahmid dan tahlil.
Dari
balik pintu, empat mahasiswa masuk menyelundup mengambil duduk di antara
choliedah dan radega, mereka semua menengadahkan tangan ikut serta dalam
panjatan doa Penulis buku TSB. “aminnn, aminnn, aminn”, mereka sahut
menyahut dengan nada lirih.
Seperti
janji prof Ali tujuh hari yang lalu, “selasa, 7 April 2015, kita belajar
sama pak Faqih, beliau yang akan memberikan tutorial tentang blog, Sosok
seperti apakah yang diajukan?, seumuran siapakah dia? Bagaimanakah
perawakannya? Apakah ia menyeramkan? Apakah? Apakah? Apakah?” Citra
penasaran.
Dari
dalam tas lusuh yang dibawa, ia mengeluarkan sebuah keropak pensil
satu-satunya, menarik mata resluiting yang tinggal kepalanya saja, lalu
memungut satu bolpoin warna biru favoritnya. Sementara itu, tangan kirinya
beradu kuku sepanjang 2 mm menciptakan bunyi cetak-cetik dengan anggukan
kepala, berirama.
Part III
Seorang
pria berusia kepala empat berjalan mantap membuka pintu, “kriettttt,
Assalamualaikum”, kepalanya mengangguk separuh menoleh, alisnya berkerut.
Matanya memandang ciut, memperjelas benda apa saja yang ada diruangan.
Imam
sholat dhuhur yang menangkap tingkahnya spontan berkata, “nyalakan lampunya,
gelap, wa’alaikum salam pak, silahkan, silahkan”. Para jamaah dalam kelas
saling memandang, choelidah dengan gaya ingin tahunya berbisik, ”sapa? Pak
faqih ta?”, Citra juga bergumam “oalaaaa, pak ini?”.
Kelas
yang sunyi berubah gaduh karena ulah penghuninya, ada yang menyeret bangku, ada
yang mengorek tas, ada lagi yang lalu lalang memasang proyektor. Fathur
mengulurkan tangannya, meraih sebuah payung dipojok kelas, untuk apa? Biasalah
proyektor tergantung pada plavon, terlalu tinggi kalau dipencet dengan tangan,
tak akan sampai.
“e,
coba Sham, pinjam proyektor ke akademik, nggak bisa itu”, ujar Prof Ali
yang duduk pada kursi di bawah sakelar. Para peserta belajar sibuk
sendiri-sendiri, seorang dari mereka ada yang baru datang. Pemilik profil Cuma
Bigboss kosmawijaya lagi-lagi terlambat, nafasnya tersenggal-senggal, dadanya
naik turun, sesekali keluar hembusan dari mulutnya untuk mengimbangi nafas tak
teratur, laki-laki bertubuh menggemaskan itu habis berlari tadi.
Bigboss
membaur, sebuah proyektor sudah tersambung di depan kelas, papan tulis putih
mendapat sorotan darinya, sebuah cahaya alat elektronik itu menghasilkan
tulisan “HIT” , bukan nama produk obat nyamuk. H= hancurkan yang tidak tampak,
I= impian-mu tuliskan dan T= tingkatkan valensimu.
“Nama
saya Nasrul Faqih Syarif”, dosen undangan Prof Ali mengenalkan diri.
Absensi berjalan diminta olehnya, “saya ingin melihat nama-nama kalian, saya
panggil teman-teman saja ya”. “ia paaak”, sahut mahasiswa pada dosen baru.
Prof Ali hanya tersenyum mengangguk di sisi kelas dengan mata tetap mengamati.
“Di
antara penghalang yang paling besar, mana yang lebih jahat? Yang tampak atau
yang tidak tampak?”, “yang tampak,,,,yang tidak tampak”, sahut Gundul dan ulvia
memecah pertanyaan pak Faqih.
Penghalang
yang paling jahat adalah penghalang yang tidak tampak, salah satunya adalah
pikiran negative, lebih lebih kita harus berhati-hatilah dengan perkataan ,
lihat saja pelantun tembang Teman Tapi Mesrah, ia harus rela dikhianati sahabat
yang diam-diam suka pada suaminya, pemilik ungkapan “pusing, pusing,
pusing….pusing tujuh keliling”, benar-benar dibuat pusing oleh perjalanan
cintanya. Pedangdut cantik yang tenar
dengan lagu alamat palsu juga sedih dengan kehidupannya, ditinggal oleh
suaminya ketika ia mengandung anak pertamanya.
“Bagaimana
dengan kita?”, pak faqih menatap satu persatu peserta, ia lanjut
berkata-kata. “Beberapa mahasiswa belajar dalam satu kelas, ketika dosen
datang, ia menyodorka kertas ulangan satu-satu. “kalian semua harus nulis”.
Kalimat itu diulang-ulang terus. Kalimat pertamanya positif tapi kalimat
setelahnya ini “selama lima tahun
terakhir ini, tidak ada mahasiswa yang mengikuti kuliah saya lulus”.
Apa
yang terjadi?, mahasiswa yang mengerjakan bisa-bisa mengalami syndrome “lima
tahun tidak ada yang lulus, apalagi saya?”. Cerita pak faqih memeragakan
gaya lemas sedang menulis, bibirnya komat kamit, matanya melirik dengan kaca
mata agak jatuh pada batang hidung.
Ia
menarik pantalonnya ke atas, bersiap duduk agar tak ketat, “e ndak taunya
ada sepuluh menit, ada mahasiswa yang datang terlambat. Saya tidak menyuruh
kalian terlambat lo ya, saya membaca blog anda semua, hampir rata-rata anda
disuruh sujud oleh prof Ali, gara-gara terlambat. Jangan dikira saya ndak
baca lho ya”.
Pemilik
jargon halo hai itu melanjutkan ceritanya, “maaf Prof saya
terlambat”, ucap mahasiswa dalam cerita pak faqih. Yang lainnya mengerjakan
dengan serius, “E,, yang baru datang ngerjakan sambil ye,,ye,,ye nyanyi”.
Tangan pak faqih nge_rap menirukan mahasiswa terlambat dengan santai.
“Pada
saat pengumuman hampir semuanya tidak lulus, justru yang lulus siapa?”,
Tanya pak faqih pada mahasiswa yang kuliah dalam kelas. Bigboss dan dewi
menyahut dari belakang, “yang terlambat!”. “ya…yang terlambat, bukan berarti
karena dia datang terlambat, tapi karena dia tidak terkena pikiran negatif”.
Hati-hati
dengan pikiran negative. “selama empat tahun terakhir ini saya diminta teman
saya untuk motivasi ujian nasional pada sekolah Negeri dan Swasta di berbagai
kota”. Mereka yang tidak lulus ujian nasional bukan karena mereka bodoh,
tapi karena nerves ketika mengerjakan. Maka saran saya kepada mereka “kerjakan
yang mudah dulu, anda baca, kalau sulit ditinggal dulu, kerjakan yang mudah,
setelah itu ganti”.
Anda
bisa bayangkan, mengerjakan soal matematika, menjawab soal yang sulit lebih
dulu. Setelah itu waktu tinggal 20 menit, “mati aku, mati aku”. Waktu
anda akan habis dengan mati aku mati aku saja. Ucap pak Faqih mengangkat
kepala, alisnya juga naik. Mahasiswa tertawa menggelegar, khilmy menyandarkan
kepala dan bersembunyi pada bahu Citra dengan terbahak.
Part IV
“Halooo,,,”,
“Hai”
Setan tidak pernah senang jika melihat manusia mulia.
Manusia adalah manusia pilihan, ia tidak hanya mulia tapi juga dimanja. Allah
menciptakan nabi Adam dan meletakkanya di surga, tidak hanya itu ia juga diberi
kemuliaan dengan Memerintahkan jin dan malaikat bersujud kepadanya, “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(Al-Baqarah 02:34)”.
Karena kesombongannya, mereka dikeluarkan dari surga,
sejak saat itulah setan Dendam, Dengki, Dongkol pada manusia. Ketiga sifat
inilah yang menjadi pegangan para setan untuk menggoda manusia dan mereka
berdoa kapada Allah “ya Allah berilah kami umur yang panjang, dan kami akan
mengggoda manusia”.
Setan saja mau berdoa dan dikabulkan, kenapa kita
tidak? maka kalau ada manusia tidak mau berdoa berarti ia melebihi seeeet???????............hahahhaahaha
kelas bergema.
Dalam majelis ilmu, setan sering membisikkan rasa malas, “hujan
rek, semoga dosennya nggak masuk”. Sudah duduk dalam kelaspun setan menciptakan
rasa kantuk. Sudah semangat seperti ini masih aja ada yang tinggal lima walt.
“Haloo,,,,haiii…”, suara melengking pak Faqih dan
gelak tawa mahasiswa membangunkan Fathur dari kantuknya. Semua mata tertuju
pada mahasiswa berpeci itu, kepalanya mengangguk-angguk, untung tidak jatuh.
Matanya terbuka dengan kaget lalu tolah toleh dan mengusap mukanya.
Prof Ali tersenyum menatapnya, “Tur, Fathur”, Mat
Zein yang duduk di sampingnya_pun masih saja tertawa.
“jika terngiang-ngiang di dalam pikiran kalian, sesuatu
yang mendorong-dorong keburukan dan menunda kebaikan, maka itu adalah bisikan
setan”, pak Faqih membenarkan kaca mata sambil membacakan hadits Rasul.
Selain membisikkan pikiran negatif, setan sering pula
menumpangi kata-kata tapi, setelah kata tapi pasti ada alasan, dalil. “saya
sih pengen berubah, tapi gimana yaa? Kata orang belum dapat hidayah…”.
Selain pikiran negative dalil yang digunakan setan adalah dalil usia “saya
kan masih muda pak, ngapain saya berfikir masa depan. Saya sudah tua nak, sudah
tidak bisa belajar apa-apa”. Jika dalil usia dipakai, maka tidak akan ada
bocah 6 tahun, berhasil mencatat rekor
muri, sebagai penulis termuda di indonesia, dia adalah putri KH. Abdullah
Gymnastiar.
Jika dalil usia lagi-lagi dipakai, tidak akan ada colonel
Sanders yang terkenal melalui karyanya, pelopor Kentucky Fried Chicken (KFC),
perintis industri waralaba makanan siap
saji dunia.
Sosok colonel Sanders menjadi simbol dari semangat
kewirausahaan. Ia lahir pada 9 september 1890 di Henryville, Indiana. Ketika ia
berumur enam tahun ayahnya meninggal dan ibunya sudah tidak mampu bekerja lagi.
Mau tidak mau Sanders muda harus membantu ibu tercinta merawat adik
laki-lakinya yang baru berusia tiga tahun. Dengan kondisi ini ia harus memasak
untuk keluarganya.
Sanders kecil semakin dewasa, pada usia tujuh tahun, ia
sudah pandai memasak di beberapa tempat memasak sehingga pada usia sepuluh
tahun ia mendapatkan pekerjaan pertamanya dengan gaji dua dollar satu bulan.
Pada usia 12 tahun, ibunya kembali menikah. Sejak saat itu ia mulai keluar
rumah untuk berganti-ganti pekerjaan selama beberapa tahun.
Pertama, sebagai tukang parkir di New Albany, tentara kiriman selama 6 bulan ke Kuba, petugas pemadam kebakaran, belajar ilmu hukum melalui korespondensi, praktik dalam pengadilan, asuransi, operator kapal feri, penjual ban, operator bengkel dan lainnya.
Perjalanannya sangat panjang, hingga ia memulai bisnisnya
pada usia pensiun, usia 60_an. Nama Sander semakin baik. Gubernur Ruby Laffoon
memberi penghargaan Kentucky colonel pada tahun 1935 atas kontribusinya bagi
Negara Cuisine. Pada tahun 1939, keberadaanya pertama kali terdaftar di Duncan
Hines “Adventures in Good Eating”.
KFC berkembang pesat, kini lebih dari 1 miliar ayam goreng
hasil resep colonel ini dinikmati setiap tahunnya. Bukan hanya di Amerika
Utara, tapi di seluruh dunia. Namun Sanders sukses tak lagi menyaksikannya,
pada tahun 1980, di usia 90 tahun ia terserang penyakit leukemia. Iapun
meninggal setelah melakukan perjalanan 250.000 mil dalam kunjunganya ke
restoran KFC seluruh dunia.
“Impian meraih sukses tidak harus di masa kecil. Impian
bisa juga di saat usia senja”. Kolonel Sanders, pendiri KFC[2]
“Seandainya pada
saat itu, alasan sudah tua dipakai oleh pak Sanders, maka tidak akan ada KFC
tapi TFC, Trisno Fried Chicken.”
Celetuk dosen motivasi pada pemilik profil
Cuma Bigboss Trisno Kosmawijaya, mahasiswa bertubuh menggemaskan itu
tersedak, “hahahahahha, aku maneh”. Katanya
Part V
Di luar kelas, air langit masih menetes, hawa dingin tetap
mengusap. Gundul yang duduk di baris kedua, memeluk tas hijau toska dengan
meringkuk “adeeeeem” katanya. Di sampingnya, nafisa duduk menahan dagu.
Sesekali ia meniup udara supaya garis jilbabnya tidak menunduk.
Kelas kembali aktif, pak Faqih lanjut bercerita, kisah
seorang laki-laki invalid menjadi inspirasi. Nick Vujicic, seorang yang cacat
dan banyak kerkurangan, ia lahir pada 4 Desember 1982, putra pertama dari
keluarga Serbia. Ia lahir di Brisbane, Australia dengan gangguan Tetra_Amelia
langka: tanpa lengan tanpa kaki, hanya dua jari pada pangkal paha sebagai alatnya
beraksi.
Pada masa kecilnya Nick sering dihujat teman-temannya,
hingga pada usia 10 tahun ia sempat berniat bunuh diri, dengan menenggelamkan
tubuhnya di bak mandi. namun karena kecintaannya pada orang tua, ia urung, lalu
menyatakan dalam video musiknya “something more” bahwa Tuhan memiliki
rencana untuk hidupnya, ia tidak bisa memaksa dirinya tenggelam karena ini.
Nick berdoa sangat keras pada Tuhannya. Ia menyatakan
“Jika Kau tidak menjawab doaku, maka Aku tidak akan memuji-Mu tanpa batas
waktu”. Namun, titik balik penting dalam imannya datang ketika ibunya
menunjukkan sebuah artikel tentang seorang pria dengan cacat berat. Nick mulai
mendapat pencerahan dari tulisan itu. Nick akhirnya mulai menyadari bahwa “prestasi
adalah inspirasi bagi banyak orang, dan mulai bersyukur kepada Tuhan karena
hidupnya”.
Secara
bertahap, Nick Vujicic menemukan cara
hidup tanpa anggota badan. Ia menulis dengan dua jari pada kaki kiri dan
pegangan khusus pada ibu jari kakinya. Ia tahu bagaimana harus menggunakan
computer dan mengetik dengan tumit dan kaki mungilnya. Ia juga belajar melempar
bola tennis, bermain pedal drum, mendapatkan segelas air, sisir rambutnya,
sikat gigi, menjawab telepon, bercukur dan lainnya. “Luar biasa, ia bukanlah
Nick tanpa kaki dan lengan. Ia layak disebut seorang yang sempurna”.
Pemuda
giat ini tak pernah pupus sekolah, ia cercatat sebagai sarjana pada usia 21
tahun dengan dua jurusan, akuntansi dan keuangan perencanaan. sejak saat itu,
ia memulai perjalanannya sebagai pembicara motivasi, mengisi acara-acara
internasional. Berbicara pada jemaat-jemaat Kristen, sekolah dan rapat perusahaan.
Ia mempromosikan karyanya melalui televisi dan tulisannya, buku pertamanya: “Life
Without Limbs: inspiration for a Ridiculously good life”.(Random House,
2010)
Saat
ini nick tinggal di Los Angeles, California, AS. Pada tanggal 12 februari 2012,
ia menikah dengan wanita cantik Kanae Miyahara. Setahun kemudian pada 13
Februari 2013, anak mereka Kiyoshi Vujicic lahir dengan selamat.
Menurut
Nick, “Seandainya saya dilahirkan di sebuah Negara dunia ketiga, maka
kondisi saya akan dianggap sebagai kutukan atau memalukan bagi orang tua saya
dan saya akan dibunuh saat itu juga, pada saat kelahiran saya, saya sangat
berterima kasih pada ayah ibu. I LOVE U”[3].
Pak faqih berjalan merunduk menajamkan matanya, cerita semula
mengharukan siapa saja yang mendengarkan? “bagaimana dengan kita?”,
suara datar itu tiba-tiba kencang, “Sudahkah kita bersyukur dan berfikir
positif pada Tuhan?”, jika belum, marilah mulai nanti malam, kita curahkan
segala beban, segala keinginan kepada Allah, kita Curhat semua pada_Nya”. Ia
mengangkat tangannya, sepatunya menghentak-hentak.
Manusia
mungkin berbuat salah tetapi yang tidak dibenarkan adalah mempertahankan
sesuatu yang negative dan mengulanginya hingga menjadi kebiasaan.[4]
Pikiran
negative adalah kepribadian yang tidak baik, pikiran negative akan memupuk dan
menyebar hingga menjadi kebiasaan yang menghalangi anda mencapai tujuan dan
mendatangkan masalah yang tidak berkesudahan. Yang paling penting untuk
disadari adalah, pikiran negative akan menguatkan ego rendah dan menjauhkan
diri dari Allah.
Lalu
bagaimana pak? Supaya kita bisa menumbuhkan pikiran positif?, Faizin yang
duduk di samping Syam bertanya setengah teriak, Redega mencubitnya sambil
tersenyum, “heh, pelan po.o”. he heh he he faizin terbahak malu-malu
“Sudahlah
teman,,,,kita ada masalah atau tidak, selalu bersyukur kepada Allah!!”,
motivator itu mengepalkan tangan dan mengayun ke bawah dengan kuat, suaranya
melengking membacakan hadits rasul Rasulullah Saw: Jika kalian bertawakkal kepada
Allah dengan benar, niscaya Dia akan memberi rizki sebagaimana Dia memberi
rizki kepada burung.
Kembali
lagi ke situ, kita harus patahkan penghalang yang tidak tampak, gampang sekali
merobohkan gedung, tapi merobohkan rasa malas? Pikiran negative? Kita kan harus
melawan!!.
Dosen
undangan itu berjalan mendekati papan tulis, ia meraih sebuah tas kulit di
bawah meja, lalu mengemasi bahan-bahan mengajarnya. Ketika itu jam sudah
berputar pada angka 1 setengah. Pak faqih memohon diri untuk keluar kelas, “saya
harus ke Bromo siang ini, siapa yang mau ikut?”, hahaha dia tertawa
menawari mahasiswa, meng_abang-abang lambe.
Iapun
meninggalkan kelas, dengan salam semangat mahasiswa berjabat. Professor Ali
Aziz mengambil alih perkuliahan, bolpoin warna cokelatnya tergantung di bibir
saku kemeja putihnya, sepatunya yang licin membuat mata silau memandang.
Ia
melangkah tepat di depan Citra dan Khilmy, suaranya yang khas keluar dari
bibirnya yang agak mengatup, “seharusnya tadi kalian catat kata-kata
kuncinya, oh pak Faqih sedang menulis, oh lagi teriak, oh bajunya warna ini,
itu dan lain-lain. ”
Kuliah
hari ini lebih singkat dari biasanya, pukul 14.30 Pm pembelajaran diusaikan.
Penulis buku TSB itu memberikan oleh-oleh tulisan. Seperti biasanya, ia selalu
memberikan dorongan semangat agar mahasiswanya kelak menjadi penulis hebat.
Sekalipun tulisan kelas masih ambur-adul, ia selalu memotivasi dengan
kata “siapa bilang kalian tidak bisa menulis?, kalian itu orang heebat!,
kalian itu luar biasa!”. (Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag)
Tulisan yang iindah.... dengan teknik penulisan sesuai EYD.. it's amazing.. i like it... semoga ada rezeki.. agar kelak bisa di buku kan sebgai nilai sejarah di bangku kuliah...
BalasHapusmakasih paaak
Hapusngefans bgt sama kang abik
BalasHapusceritanya sudah menarik bangets tapi, tapi merangkai kalimatmya kurang begitu pas.... tetap semangat mbk ya
BalasHapusmakasih mbak uswatun,,,,,
Hapuspanjang sekali brooooo
BalasHapusenak panjang broooo
Hapusaku terharu sama kisah Nick Fujicic,,,,laqod kholaqnal Insaana fii ahsani taqwiim
BalasHapuskita yang punya tangan, kaki, hidung...lengkap tapi kadang masih suka malas-malasan
Hapusoh, ternyata,,,kita terlalu terlena untuk menikmati yang ada...dengan melupakan sejarah
BalasHapusiy ma,,,,,sekarang kita baru tahu,,ternyata ayam-ayam itu karya kakek kita
Hapusproses ada yang menyakitkan. adapula yang menyenangkan semua itu dapat terlampaui dengan kesabaran... dan tetap yakin hasil akhir akan membahagaiakan...
BalasHapusiya pak tapi bukan cuma proses yang kadang menyakitkan,,,hasil juga bisa,,,coba saja anda ingin sesuatu tanpa menyiapkan,apa tidak menyesal?
Hapusceritanya bagus kakak cuma diksinya aja yg kurang
BalasHapus