In memorian Selasa, 31 maret 2015
Dengan agak terburu-buru kulangkahkan kaki menaiki Twin
escalator manual beranak tangga 25 kaki di fakultasku, fakultas dakwah gedung A yang letaknya di ujung timur
sebelah kanan jika mahasiswa masuk melalui gerbang depan UINSA (Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel) atau di sudut timur sebelah kiri jika mahasiswa masuk
melalui gerbang sempit selebar 30 cm, tepatnya disebut dengan pintu masuk gang
dosen.
Kerudung motif polkadot biru dengan variasi merah jingga
menari dan bergelombang mengiringi ayunan tas kertas di tangan kanan
mengimbangi berat tas kain yang kusampirkan di lengan kiriku. Kulirik jam
tangan karet warna hitamku, “oh, pukul 12.26 Pm, matilah aku”.
Ketika kakiku sampai pada anak tangga ketiga, aku terhenti
dan menoleh ke belakang, menatap jauh hingga kedua mataku setengah terpejam
karena silau, mengamati siapa saja yang berdiri di depan mading sepanjang empat
meter di depan pintu masuk, “Kemana dia?”, gumamku. Dengan tetap
terpaku, kuputar tubuhku berbalik 90o untuk melihat lagi apakah
temanku telah menyusulku?, teman satu kelasku Ria yang berangkat bersamaku
siang tadi, “Mungkin dia masih diparkiran dan bertemu temannya, ku tinggal
lebih dulu lah, biar dia menyusul”, ucapku pada diri sendiri.
Aku meneruskan jalanku, seperti biasanya mulutku selalu
komat-kamit ketika menaiki tangga, menghitung satu persatu anak tangga, hingga
anak tangga nomor 25 terlewati tanda lantai satu telah lalu. Ketika sampai
lantai dua, kulangkahkan kakiku untuk belok ke kanan menuju sebuah jalan mirip
lorong yang tak lain jalan menuju ruang kelasku, kelas Teknik Khitobah II
dengan pintu warna coklat dan dinding bercat warna krem.
Kudorong daun pintu nomor D1.211 lalu mengucap salam, “Assalamualaikum”. “wa’alaikumus
salam”, terdengar jawaban salam dari dalam kelas yang pintunya baru kubuka
setengahmya. Seorang pria paruh baya berkemeja putih dan celana hitam senada
dengan sepatunya tengah duduk bersilang di sebuah kursi plastik warna hijau di
belakang meja ukuran 1x2 meter di depan kelas, tepatnya di meja dosen 2 meter
dari white board.
Aku terkejut hingga kedua alisku bertemu, kulihat beberapa
temanku tengah sujud di lantai depan meja dosen, aku bingung dan menolehkan
kepala ke kanan dan kiri, kulihat delapan temanku yang duduk dikursi tanpa
bertanya, mereka hanya memandangku. “Ambil tempat dan sujud syukur membaca
tasbih 100x”, suara khas yang sangat ku kenal ini membuyarkan tatapanku
pada teman-teman, suara santai professor idolaku itu nampak telah memahami
kebingunganku . “nah ini, ku kira teman-teman sujud karena materi Terapi Sholat
Bahagia,,,oh ternyata, oh ternyata”, ucapku dengan jantung berdetak. Aku
menaruh tasku ditempat duduk kemudian mengangkat kaki mengambil posisi sujud di
samping teman perempuanku, Azka.
Dalam perjalanan yang kurang dari satu menit itu, aku
hanya menunduk, tak berani menatap Prof Ali Aziz, aku takut, aku sedih, aku
gelisah, “Mungkin dosen tinggi tegap itu jengkel, mungkin marah, mungkin,
mungkin dan mungkin”. Tanda tanya besar keluar dari mata yang kuusap pena
mata siang itu.
Tepat di belakang tiang di depan meja dosen aku mengambil
tempat, penerang ruangan yang agak redup menambah kesunyian kelas, ada empat
lampu dengan hanya dua di antaranya yang dinyalakan. Sebuah Pendingin ruangan juga
tak mampu menyejukkan kelas ukuran 20x18 meter itu, setiap langkah kaki, salam
dan suara pintu terbuka membuat tasbih yang kuucapkan semakin berat, “ambil
tempat, sujud dan baca tasbih 100 kali, 150 kali, 150 kali”, kudengar
perintah dosen kepada beberapa temanku yang baru datang, entah siapa mereka.
Dalam aku menyetarakan kepala, telapak tangan, lutut dan
kaki di lantai dengan tetap memakai kaos kaki, “Sepertinya inilah pertama
kalinya aku bersujud dengan berkaos kaki”, aku merasakan haru, sesal, sedih
dan juga bahagia, “Professor Ali Aziz memang luar biasa, sangat bijaksana, kami
sangat beruntung di pertemukan oleh Allah dalam dua semester terakhir ini,
kontrak belajar yang telah kami sepakati dengan satu di antaranya: telat 10
menit dari jam belajar maka bla…bla….bla…, tenyata telah ku ingkari, bahkan
dalam 5x pertemuan ini tidak jarang aku berangkat 5 menit sebelum waktu masuk
yakni pukul 12.20 Pm, sedangkan perjalanan dari home stay (red. kontrakan)
menghabiskan waktu 10 menit dengan sepeda kaki yakni ontel, sehingga aku akan
sampai pada 12.25 Pm dan hal itu pastinya sudah telat”.
Pada hitungan ke 80 tasbihku, aku merasakan gerakan bangun
dari sujud teman di sampingku, aku berpikir aku tertinggal, namun aku terus
mengucap tasbih melanjutkan bilangan yang belum penuh 100 dengan 10 jari yang
masing-masing kuhitung dengan nilai sepuluh. Kuperlambat bacaan mencoba
menguasai diriku yang gugup merasa sendiri dan ketika cukup aku mulai bangun
dan membuka mata. Dengan berkedip kuperhatikan sisi ruangan, kuraih sepatu yang
sedikit kubanting ketika melapasnya. Bukan karena marah karena hukuman namun
karena ribet susah dilepas “Sepatu rempong”, umpatku
Kejadian siang itu adalah hal yang sangat mengesankan,
betapa tidak? Seorang professor yang ketika memasuki kelas hanya bersama dengan
delapan mahasiswa. Yang lain kemana? Yang lain masih di jalan jawabku dalam
hati ketika mengingat aku di hukum dengan sujud syukur. Menggelikan sekali. Aku
terharu ketika Prof berkata “bagaimana kalian mau ilmu yang bermanfaat jika
dosen datang lebih awal dari mahasiswa?”. Sangat halus tapi mengena tepat
pada hatinya, hatiku.
Aku lebih geli lagi ketika lepas isya’ sekitar pukul 9
malam, kubuka sosmedku, facebook andalan
dan mencoba membuka kronologi Prof Ali, kubaca satu persatu postingan beliau.
Beberapa di antaranya ku share dengan meminta izin kepada si empunya dulu
tentunya. “whaaaaat?”, ekspresiku kaget ketika membaca postingan terbaru
beliau “10 mahasiswa yang telat, saya minta sujud syukur masih bisa kuliah
dg 200 bacaan tasbih, saya yakin mereka ikhlas”. Luar biasa sekali.
Disiplin dan menghargai waktu memang sangat susah jika tidak dilatih sejak
dini, inilah jadinya.
subhanallah,... keren sekali :)
BalasHapusdi baca ta? kok bilang keren haha,,,,,punyamu juga lucu say,,,,lucu wegah berdebu
Hapusya Allah indahnya di hukum itu ..
Hapuspengen ngulang t?
Hapusbesok berangkat lebih awal yaaaaa.
Hapusiiya siap bos ,,
HapusNice story :), Kita mungkin terkadang terlupa untuk bersyukur pada hal-hal sederhana seperti nikmat kesempatan menuntut ilmu di bangku kuliah. Jadi teringat pengalaman semester 1 diampu oleh Prof Ali teknik mendidiknya memang sangat bijaksana
BalasHapushehee...mungkin kita terlalu santai ya,,,kalau sudah tau gini? tau
Hapusjenggotnya,,,jadi serem
subhanallah.,.,.,.,.,,.mantap...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapushahah,,mantap pak,,,kaya sate
HapusWah, menarik. Tapi aku ngebacanya sampek ngos-ngosan. Barangkali lampu lalulintasnya (tanda bacanya) kurang Bang. But, it's okey. Good luck for you... :D
BalasHapusheheh jadi malu nh sama senior
Hapusmakanya,,,jgn malas berangkat
BalasHapushaha,,,,,,,,kan ngantuk suuu
Hapushahha
BalasHapussedikit geli membacanya
pengalaman yang luar biasa kiranya buat anti
hohoho
baleni neh
gpp
ben isok sujud sedikit lebih lammmmaaaaa
pisssss
hahahaha...nakalaaaan,,,itu namanya bandel ngulang terus
Hapusmalas juga bacanya..tapi dah ok good
BalasHapushehehe,,,,,,,malasnya harus dikalahkan,,,,dengan semangat dan lebih semangat lagi,,,
Hapushahaha
BalasHapuslucuuuuu....
makane ta budalo seng isuk...mari subuh ngunu...
awan je maaaaa,,,,,,
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusalhamdulillah.....
BalasHapussehatkah anti?
teman-teman mbkq satunya ini super aneh dan nyebelin lhoh,,,,
kalau mau tahu lengkap ttg nya bisa hubungin saya lhoh tinggal bilang dian cantik tiga kali lipat aq nya nongol.................
hahahahahaha
waaaah kamu modus tok ae mbaaaar,,,tapi tetap sayang dah sama kamuuu makasih yaa
Hapuslanjutkan sujutnya,,,perbanyak tasbihnya ya sayang
BalasHapushehe,,,iya ma,,,,,semoga tetap istiqomah ya,,,tapi y jg istiqomah d hukum laaah
HapusNice punishment..
BalasHapusJd pengen diajar sm pak Ali Aziz juga nih.. :)
prof Ali Aziz itu dosen yang luar biasa mbak yu....ayolah kapan2 ikut kelasku,,,,,,kita welcome kok mbak,,,,,,yyuuuuuuk
HapusMantap. hehehe
BalasHapusmantap pak apalagi di tambah bikin tulisan,,,,semakin lezat jadinya
HapusSemoga menjadi pelajaran hidup agar semoga sukses dunia akhirat...
BalasHapusiya say,,,semoga kita termasuk dalam golongan orang yang sukses dunia akhirat,,,aminn
Hapushukum yang tidak di sangka dan tampa ada rasa jengkel. gak kayak di hukum biyasanya.hehehhe
BalasHapusbener say...biasanya kita dihukum dengan hukuman, dan sakitnya dihati juga jasmani...beda bgt sama gaya prof...bukan sakit tapi langsung mengena di hati
Hapusdari hukuman itu bisa membiasakan bertasbih
BalasHapusbenar sekali pak,,,,tapi yang lebih penting kita harus mengistiqomahkan tasbih,,,bukan cuma membiasakan,,
Hapuspenuh maknaa d balik cerita ini :)
BalasHapushehehhe,,,,,makasih say,,,punya anti juga bagus,,,ngeluyur kaya sepur
Hapusatek dihukum maneng ngten pye mbak???hehe
BalasHapus