SELAMAT DATANG DI BLOG B3 Baiti Bbytieh Blog

Rabu, 01 April 2015

Aku di Hukum


In memorian Selasa, 31 maret 2015
            Dengan agak terburu-buru kulangkahkan kaki menaiki Twin escalator manual beranak tangga 25 kaki di fakultasku, fakultas  dakwah gedung A yang letaknya di ujung timur sebelah kanan jika mahasiswa masuk melalui gerbang depan UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) atau di sudut timur sebelah kiri jika mahasiswa masuk melalui gerbang sempit selebar 30 cm, tepatnya disebut dengan pintu masuk gang dosen.
            Kerudung motif polkadot biru dengan variasi merah jingga menari dan bergelombang mengiringi ayunan tas kertas di tangan kanan mengimbangi berat tas kain yang kusampirkan di lengan kiriku. Kulirik jam tangan karet warna hitamku, “oh, pukul 12.26 Pm, matilah aku”.
            Ketika kakiku sampai pada anak tangga ketiga, aku terhenti dan menoleh ke belakang, menatap jauh hingga kedua mataku setengah terpejam karena silau, mengamati siapa saja yang berdiri di depan mading sepanjang empat meter di depan pintu masuk, “Kemana dia?”, gumamku. Dengan tetap terpaku, kuputar tubuhku berbalik 90o untuk melihat lagi apakah temanku telah menyusulku?, teman satu kelasku Ria yang berangkat bersamaku siang tadi, “Mungkin dia masih diparkiran dan bertemu temannya, ku tinggal lebih dulu lah, biar dia menyusul”, ucapku pada diri sendiri.
            Aku meneruskan jalanku, seperti biasanya mulutku selalu komat-kamit ketika menaiki tangga, menghitung satu persatu anak tangga, hingga anak tangga nomor 25 terlewati tanda lantai satu telah lalu. Ketika sampai lantai dua, kulangkahkan kakiku untuk belok ke kanan menuju sebuah jalan mirip lorong yang tak lain jalan menuju ruang kelasku, kelas Teknik Khitobah II dengan pintu warna coklat dan dinding bercat warna krem.
            Kudorong daun pintu nomor D1.211 lalu mengucap salam,  “Assalamualaikum”. “wa’alaikumus salam”, terdengar jawaban salam dari dalam kelas yang pintunya baru kubuka setengahmya. Seorang pria paruh baya berkemeja putih dan celana hitam senada dengan sepatunya tengah duduk bersilang di sebuah kursi plastik warna hijau di belakang meja ukuran 1x2 meter di depan kelas, tepatnya di meja dosen 2 meter dari white board.
            Aku terkejut hingga kedua alisku bertemu, kulihat beberapa temanku tengah sujud di lantai depan meja dosen, aku bingung dan menolehkan kepala ke kanan dan kiri, kulihat delapan temanku yang duduk dikursi tanpa bertanya, mereka hanya memandangku. “Ambil tempat dan sujud syukur membaca tasbih 100x”, suara khas yang sangat ku kenal ini membuyarkan tatapanku pada teman-teman, suara santai professor idolaku itu nampak telah memahami kebingunganku . “nah ini, ku kira teman-teman sujud karena materi Terapi Sholat Bahagia,,,oh ternyata, oh ternyata”, ucapku dengan jantung berdetak. Aku menaruh tasku ditempat duduk kemudian mengangkat kaki mengambil posisi sujud di samping teman perempuanku, Azka.
            Dalam perjalanan yang kurang dari satu menit itu, aku hanya menunduk, tak berani menatap Prof Ali Aziz, aku takut, aku sedih, aku gelisah, “Mungkin dosen tinggi tegap itu jengkel, mungkin marah, mungkin, mungkin dan mungkin”. Tanda tanya besar keluar dari mata yang kuusap pena mata siang itu.
            Tepat di belakang tiang di depan meja dosen aku mengambil tempat, penerang ruangan yang agak redup menambah kesunyian kelas, ada empat lampu dengan hanya dua di antaranya yang dinyalakan. Sebuah Pendingin ruangan juga tak mampu menyejukkan kelas ukuran 20x18 meter itu, setiap langkah kaki, salam dan suara pintu terbuka membuat tasbih yang kuucapkan semakin berat, “ambil tempat, sujud dan baca tasbih 100 kali, 150 kali, 150 kali”, kudengar perintah dosen kepada beberapa temanku yang baru datang, entah siapa mereka.
            Dalam aku menyetarakan kepala, telapak tangan, lutut dan kaki di lantai dengan tetap memakai kaos kaki, “Sepertinya inilah pertama kalinya aku bersujud dengan berkaos kaki”, aku merasakan haru, sesal, sedih dan juga bahagia, “Professor Ali Aziz memang luar biasa, sangat bijaksana, kami sangat beruntung di pertemukan oleh Allah dalam dua semester terakhir ini, kontrak belajar yang telah kami sepakati dengan satu di antaranya: telat 10 menit dari jam belajar maka bla…bla….bla…, tenyata telah ku ingkari, bahkan dalam 5x pertemuan ini tidak jarang aku berangkat 5 menit sebelum waktu masuk yakni pukul 12.20 Pm, sedangkan perjalanan dari home stay (red. kontrakan) menghabiskan waktu 10 menit dengan sepeda kaki yakni ontel, sehingga aku akan sampai pada 12.25 Pm dan hal itu pastinya sudah telat”.
            Pada hitungan ke 80 tasbihku, aku merasakan gerakan bangun dari sujud teman di sampingku, aku berpikir aku tertinggal, namun aku terus mengucap tasbih melanjutkan bilangan yang belum penuh 100 dengan 10 jari yang masing-masing kuhitung dengan nilai sepuluh. Kuperlambat bacaan mencoba menguasai diriku yang gugup merasa sendiri dan ketika cukup aku mulai bangun dan membuka mata. Dengan berkedip kuperhatikan sisi ruangan, kuraih sepatu yang sedikit kubanting ketika melapasnya. Bukan karena marah karena hukuman namun karena ribet susah dilepas “Sepatu rempong”, umpatku
            Kejadian siang itu adalah hal yang sangat mengesankan, betapa tidak? Seorang professor yang ketika memasuki kelas hanya bersama dengan delapan mahasiswa. Yang lain kemana? Yang lain masih di jalan jawabku dalam hati ketika mengingat aku di hukum dengan sujud syukur. Menggelikan sekali. Aku terharu ketika Prof berkata “bagaimana kalian mau ilmu yang bermanfaat jika dosen datang lebih awal dari mahasiswa?”. Sangat halus tapi mengena tepat pada hatinya, hatiku.
            Aku lebih geli lagi ketika lepas isya’ sekitar pukul 9 malam, kubuka sosmedku,  facebook andalan dan mencoba membuka kronologi Prof Ali, kubaca satu persatu postingan beliau. Beberapa di antaranya ku share dengan meminta izin kepada si empunya dulu tentunya. “whaaaaat?”, ekspresiku kaget ketika membaca postingan terbaru beliau “10 mahasiswa yang telat, saya minta sujud syukur masih bisa kuliah dg 200 bacaan tasbih, saya yakin mereka ikhlas”. Luar biasa sekali. Disiplin dan menghargai waktu memang sangat susah jika tidak dilatih sejak dini, inilah jadinya.



39 komentar:

  1. subhanallah,... keren sekali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. di baca ta? kok bilang keren haha,,,,,punyamu juga lucu say,,,,lucu wegah berdebu

      Hapus
    2. ya Allah indahnya di hukum itu ..

      Hapus
    3. besok berangkat lebih awal yaaaaa.

      Hapus
  2. Nice story :), Kita mungkin terkadang terlupa untuk bersyukur pada hal-hal sederhana seperti nikmat kesempatan menuntut ilmu di bangku kuliah. Jadi teringat pengalaman semester 1 diampu oleh Prof Ali teknik mendidiknya memang sangat bijaksana

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehee...mungkin kita terlalu santai ya,,,kalau sudah tau gini? tau
      jenggotnya,,,jadi serem

      Hapus
  3. subhanallah.,.,.,.,.,,.mantap...

    BalasHapus
  4. Wah, menarik. Tapi aku ngebacanya sampek ngos-ngosan. Barangkali lampu lalulintasnya (tanda bacanya) kurang Bang. But, it's okey. Good luck for you... :D

    BalasHapus
  5. makanya,,,jgn malas berangkat

    BalasHapus
  6. hahha
    sedikit geli membacanya
    pengalaman yang luar biasa kiranya buat anti
    hohoho
    baleni neh
    gpp
    ben isok sujud sedikit lebih lammmmaaaaa
    pisssss

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha...nakalaaaan,,,itu namanya bandel ngulang terus

      Hapus
  7. malas juga bacanya..tapi dah ok good

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe,,,,,,,malasnya harus dikalahkan,,,,dengan semangat dan lebih semangat lagi,,,

      Hapus
  8. hahaha
    lucuuuuu....
    makane ta budalo seng isuk...mari subuh ngunu...

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. alhamdulillah.....
    sehatkah anti?
    teman-teman mbkq satunya ini super aneh dan nyebelin lhoh,,,,

    kalau mau tahu lengkap ttg nya bisa hubungin saya lhoh tinggal bilang dian cantik tiga kali lipat aq nya nongol.................
    hahahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaaah kamu modus tok ae mbaaaar,,,tapi tetap sayang dah sama kamuuu makasih yaa

      Hapus
  11. lanjutkan sujutnya,,,perbanyak tasbihnya ya sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe,,,iya ma,,,,,semoga tetap istiqomah ya,,,tapi y jg istiqomah d hukum laaah

      Hapus
  12. Nice punishment..
    Jd pengen diajar sm pak Ali Aziz juga nih.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. prof Ali Aziz itu dosen yang luar biasa mbak yu....ayolah kapan2 ikut kelasku,,,,,,kita welcome kok mbak,,,,,,yyuuuuuuk

      Hapus
  13. Balasan
    1. mantap pak apalagi di tambah bikin tulisan,,,,semakin lezat jadinya

      Hapus
  14. Semoga menjadi pelajaran hidup agar semoga sukses dunia akhirat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya say,,,semoga kita termasuk dalam golongan orang yang sukses dunia akhirat,,,aminn

      Hapus
  15. hukum yang tidak di sangka dan tampa ada rasa jengkel. gak kayak di hukum biyasanya.hehehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener say...biasanya kita dihukum dengan hukuman, dan sakitnya dihati juga jasmani...beda bgt sama gaya prof...bukan sakit tapi langsung mengena di hati

      Hapus
  16. dari hukuman itu bisa membiasakan bertasbih

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali pak,,,,tapi yang lebih penting kita harus mengistiqomahkan tasbih,,,bukan cuma membiasakan,,

      Hapus
  17. penuh maknaa d balik cerita ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehhe,,,,,makasih say,,,punya anti juga bagus,,,ngeluyur kaya sepur

      Hapus
  18. atek dihukum maneng ngten pye mbak???hehe

    BalasHapus