Baiti
rahma
Surabaya,
12 Juni 2016
Pengen
makan, aku lapar sekali. Beruntung, ada penjual lontong kupang. Ia setengah
baya, berkaos abu-abu dengan pantalon warna krem.
“Pak,
Setunggal”.
“Iya
mbak”
Menu
kupang bapak ini beda, pikirku. Kalau biasanya pakai kerang kecil-kecil alias
lembut, kali ini ukurannya lebih besar, sebesar jempol orang dewasa. Kalau biasanya
pakai lontong di iris, kali ini pakai nasi liwet, tempat makannya pun bukan
piring tapi mangkok stainless warna perak. Seperti makan bubur kolot
rasa petis.
“Pak,
bapak tunggu di sini aja”.
Tadi
malam, di depan gorden depan kontrakan aku tenang memakannya, sambil sesekali
mengamati bapak penjual menunggu kuali pikulannya.
“Loh
bapak ngapain masuk rumah, mau apa pak, kok bawa cangkir kopi saya, bapak mau
minum?, biar saya yang ambilkan”.
Si
bapak diam tanpa menjawab, main masuk aja, aku kan ga enak. Lagi pula
teman-teman kontrakan lainnya sudah pada tidur. Takut si bapak bertindak nggak
bener.
“Nah,
tuh. Handphone saya kenapa diambil pak?. Tolong-tolong”.
Ada
beberapa orang yang keluar rumah dan menghampirku. Sedang Bapak penjual tadi
lari terbirit-birit, mungkin ia takut kalau jadi mangsa warga. Dan lenyap begitu saja, mudah saja ia menghilang
karena gelap.
Sejak
malam itu, aku seperti diawasi. Menjadi mudah gelisah, lebih-lebih setelah
mengaduk-aduk sisa porsi Lontong kupang yang tak kuhabiskan semalam, kerang
yang kusebut begitu lembut ternyata bukan jenis kerang, tapi semacam daging
potongan, pun juga bukan daging, potongan sebesar jempol itu ternyata bekicot,
sejenis siput liar di halaman rumah.
“Iiiiiih”,
bayanganku merinding.
Ingin
sekali berteriak dan marah pada diri sendiri, sembarangan jajan, pun tak mau
hati-hati.
“Oh
ternyata semalam aku belum bayar makananku”.
Entah
ini perasaanku atau bagaimana, ketika beberapa lembar uang yang ku bawa
ternyata hilang gambarnya, menjadi kertas kosong tanpa ada nilainya, kosong,
buram seperti warna kertas daur ulang.
“apa-apaan
ini” , kataku
Belum
selesai aku meredakan hatiku yang resah, ternyata kulihat ada yang aneh lagi. Beberapa
mahasiswa yang sedang shalat di masjid kampus, masjid Ulul Albab UINSA telah
berganti kiblat, bukan lagi menghadap ke barat tapi ke utara.
“Loh,
kok berubah?”.
“Iya
mbak, kiblatnya berbeda sekarang”.
Aku
cuma melongo, hampir tak percaya dengan pengalaman terahir ini, entah Karena
pikiran apa sebelumnya. Hingga ketika aku terkejut saat merasakan tanganku
ditarik, dan mendengar ada yang memanggil.
“Dek,
ayo bangun. Sahur, udah mau imsyak”.
Aku baru sadar bahwa itu semua ternyata mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar