Baiti Rahma, Surabaya (01/06/16)
Hai Penyu, apa yang kamu lakukan?. Boleh aku duduk bersamamu?.
Tentu saja Pipit. Kamu dari mana?
Aku dari pantai mengunjungi pohon kelapa.
Pagi bersemi, pancaran mentari mulai menjalar lagi. Gulung
gemulung bisik gelombang kembali bernyanyi. Nyiurpun melambai-lambai memanggil
sahabatnya kemari. Hai jangan kalian saling mengejar, bagaimana kalau ada
gundukan pasir dan kalian menabraknya. Hai, teman kemarilah, duduklah di bawah
pelepahku yang mengepak ini.
Dengan semangat sekali penyu dan pipit berlari. Mereka meghampiri
satu sahabatnya lagi. Tak peduli dahagapun mereka terus berlomba, biasanya yang
menang akan dapat hadiah, hadiah karangan bunga sebagai mahkota.
Aku bahagia sekali teman-teman.
Kenapa?, Penyu dan pohon kelapa sontak bersamaan
Pekan depan ibuku akan mengajakku ke desa seberang, kata ibu kita
akan memulai hidup baru di sana. Tapi aku juga begitu sedih, itu artinya kita
akan berpisah untuk waktu yang lama.
Pipit, Penyu dan Pohon kelapa saling memeluk, satu sahabat
mereka akan pergi mengikuti ibunya, pipit tak akan mencicit di sini dan mereka
membuat janji. Penyu membuat lubang pasir lalu menanam tiga batu besar di bawah
pohon kelapa. Ia berkata, “kita akan bertemu lagi di sini teman-temanku”.
Hari berganti, bulanpun berlalu. Tahun demi tahun beranjak
begitu saja. Gemuruh air laut kadang maju lalu mundur lagi, berulang-ulang selalu
seperti itu. Kapal-kapal nelayan bergoyang kanan kiri, ada yang menebar jaring lalu
mengangkatnya. Ada juga yang melaju pelan dengan sampannya. Mereka menikmati
setiap usapan angin liar pada anak rambutnya.
Hari ini, 1 Juni 2016. Tiga sahabat kecil telah menjadi
remaja. Mereka berjanji untuk berjumpa pada tanda gundukan pasir. Pohon kelapa
dengan setia menunggu, tak cukup sekali ia meniup angin agar pasir-pasir tidak
mengubur dalam batu persahabatannya. Ia menatap jauh ke lautan, melamun,
membayangkan betapa segarnya jika ia bisa berendam di sana. Meski semenit ia
belum juga merasakannya. Ia terperanjat ketika gelombang itu membawa sesuatu.
Sesuatu yang setengah mengapung tiba-tiba mendekat. Terus mendekat hingga
ahirnya jelas sekali. Sebuah tempurung yang pernah ia kenal, bergambar nama
yang pernah ia dengar.
“Aih, kaukah itu?”. Ia bergumam sendiri. Kilapan cahaya
panas membuatnya mengamati.
“Pohon kelapaaaaaa”.
Suara itu membuatnya tertegun. Benar saja, ia adalah si
Penyu. Sahabat cantiknya yang pelan sekali ketika berjalan. Ia bercerita bahwa
di tengah laut tadi ia bertemu dengan Pipit yang cerewet, badanya lebih berisi
dan nyanyiannya begitu manis sekarang.
“Aih, benarkah
Penyu?”.
“Iya, pohon kelapa”.
Setelah bertemu, Penyu, Pipit dan juga pohon kelapa saling
bercerita. Pipit berceloteh riang sekali, ia bahagia ketika sampai di desa
seberang. Di sana sangat permai, banyak petani yang menanam padi, ia bisa makan
sepuasnya, lalu ketika sore hari ia akan terbang mengelilingi danau lalu menari
bersama kupu-kupu. Malamnya ia akan tidur dengan hangat di atas pohon rindang. Dan
paginya menyaksikan kerbau-kerbau membajak sawah.
Belum selesai Pipit bercerita, Penyu menambah kisahnya. “aku
juga bahagia sekali, empat tahun terahir ini aku selalu berpindah dari satu
benua ke benua lainnya, airnya sangat biru. Aku bertemu ikan warna-warni dan
juga paus hiu yang begitu besar. Kadang aku berjemur di pantai dan bermain
pasir. Di sana juga banya kutemui karang-karang mempesona. Aku sampai tak ingin
berhenti menikmatinya. Lalu apa yang kamu lakukan wahai Pohon kelapa?”. Penyu
bertanya.
Pohon kelapa terdiam, ia menunduk tanpa menjawab. “Selama
ini, aku tak kemana-mana. Jangankan untuk berjalan, melangkahpun aku tak bisa. Kadang
aku marah sendiri, ketika aku melihat betapa segarnya air alut itu, aku ingin
berenang seperti kamu, penyu. Akupun ingin sekali bisa terbang seperti pipit. Bisa
terbang kemanapun ku suka atau bertemu para petani yang bertanam. Aku ingin
sekali seperti kalian, aku iri dengan keadaan kalian. Apakah kalian tahu,
betapa hidup itu tidak adil padaku.”.
Penyu merasa bersalah, ia telah menyakiti hati sahabatnya.
Pipit juga tidak enak hati. Mereka berusaha menghibur sahabatnya.
“Pohon kelapa, maafkan aku”
“Iya, pohon kelapa. Maafkan aku juga”.
Pohon kelapa, apakah kamu tahu?. Ketika aku pergi dari
desa kita ke desa tetangga, aku singgah
sementara waktu di sebuah tempat. Tempat yang begitu indah lebih indah dari yang
pernah kutemui. Di sana aku melihat pohon besar yang berjajar, rapi sekali. Mereka
mengelepakkan sayapnya, lebih kuat dari sayapku, mereka juga bernyanyi lebih
indah dari nyanyianku. Apakah kamu tahu?, Siapa mereka, mereka adalah POHON
KELAPA, sama sepertimu.
Oh aku juga punya cerita, apakah kalian tahu?, aku suka
sekali berenang. Sesekali tenggelam lalu mengapung. Ketika aku mengapung
tiba-tiba saja kepalaku terbentur benda bulat agak padat, aku diam saja dan
melanjutkan hobyku. Besoknya aku berenang kembali. Lagi-lagi aku bertemu benda
itu lagi. Aku tak begitu menghiraukan. Dalam benakku aku bergumam mengapa
selalu ada benda ini di laut lepas. Suatu pagi ketika aku berjemur, punggungku
tak sengaja menyentuh sesuatu. aih lagi-lagi benda ini. Di lautan ada di pantai
ada dimanapun selalu ada. Tapi ini berbeda, benda itu tak lagi bulat saja tapi
mengelurkan sesuatu seperti daun. Kamu tahu?, benda itu persis sekali dengan
buah yang ada di batangmu, dia adalah BUAH KELAPA.
Pohon kelapa, kamu jangan bersedih. Kamu memang tak
seperti kami, tidak bisa berenang ataupun terbang. Tuhan memang menjadikanmu spesial
dengan takdirmu. Lihat saja, tanganmu begitu panjang sehingga matahari tak
menyentuh kami, tubuhmu begitu kokoh hingga kuat menopang tubuh nelayan yang
berteduh. Tidak hanya itu kadang buahmu yang masak kau hidangkan untuk minuman
mereka. Akarmu yang kuatpun menyelamatkan alam kita. Kamu adalah makhluk yang
begitu sabar meskipun ombak selalu menghantammu. Kamu tak pernah marah.
Lalu kenapa kau bilang bahwa Tuhan tidak adil dengan
hidupmu?. Tuhan sangat adil kawanku, apakah kamu tahu?, bisa saja pohon-pohon
kelapa yang kutemui dan juga yang ditemui Pipit adalah anak-anakmu. Sederhana dan
juga kedermawananmu telah membawamu berenang-renang di lautan. Boleh jadi buah
kelapa kemarin adalah buahmu, dia begitu semangat menari mengikuti deru air.
Kalau boleh iri, maka aku dan pipitlah yang harus
mengeluh. Bagaimana tidak, kamu telah memberi banyak manfaat bagi alam ini. Kamu
begitu dicintai, bahkan dirimu sendiri telah melalang buana ke setiap pelosok
Negeri, kamu selau membuahkan kebaikan. Kamu menjatuhkan kebaikan lalu melanglai
jauh ke sana. Menyisir pesona dunia.
Pohon kelapa diam, ia menangis tersedu-sedu. Ia meminta
maaf kepada Tuhan. Ia tak lagi mengutuk diri. Tak lagi mengumpat bahwa ia tak
berguna. Sebuah perjalanan sahabatnya telah merubah pandangannya. Merubah senyum
hambarnya. Ia kembali membahagiakan hidupnya dengan benar-benar bahagia.