Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan
keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku.
Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa
dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini
tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang
aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan
badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.
Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu
hitam yang jatuh ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin
yang kini sedang berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah
pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap diriku sendiri.
Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada bahkan
sebelum idealisme ku menemukan namanya. Hanya karena permintaan menghiba
dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan
dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah
perubahan dan pencetak para cendikia.
“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,
“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,
“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar
bermain dan melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga.
Lihatlah lah coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah
dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka
terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak, mereka
malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak
blak-blakan.
Semua kobaran kemarahan dan idealisme itu padam seperti tersiram air
dingin. Aku benci melihat diriku bersusah payah mengerjakan soal-soal
sialan itu. Seribu kali!!! Mau jadi apa siswa-siswa itu? Kabupaten yang
ingin namanya harum mengambil jalan pintas berbagai rupa. Hemh! Lihat
saja jalan yang sudah disediakan itu, berubah menjadi semak belukar.
Jalan pintas itu kini sudah serupa jalan tol, lengkap dengan pintu,
penjaga dan tarifnya. Kemanakah jalan itu menuju? Ke dunia luar yang
memang persis seperti inilah keadaanya, kurang lebih. Apakah cara-cara
yang diterapkan memang sudah tepat, mengingat setamatnya mereka dari
sekolah, mereka akan terjun dan berbaur dalam masyarakat. Mereka sudah
kami ajarkan untuk mengenal kata ‘kompromi’ dan kami didik untuk
memahami dengan pasti bahwa ‘tidak ada peraturan yang tidak bisa
dilanggar’. Dan trik untuk mencapai sukses dalam hidup.. yaitu… ‘jangan
melawan arus’. Mereka juga sudah kami bekali dengan rumus untuk bisa
bertahan dalam dunia nyata ‘kejujuran hanya dipakai seperlunya saja’.
Karena begitulah yang marak mereka lihat di televisi, jika channel
favorit mereka yang menayangkan sinetron kebetulan sedang iklan dan
mereka melewati saluran tv yang terus-menerus memutarkan berita. Karena
begitulah yang terjadi di indonesia.
Hidup memang pilihan, dan aku sudah memilih untuk ikut terlibat dalam
permainan ini. Hanya karena aku tak mau didiskualifikasi karena
melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, play unfair. Menyadari kalau
ternyata aku tidak cukup tangguh untuk bisa berkata ‘tidak’, membungkam
suara yang biasa kuteriakkan… aku pun tak jauh berbeda.
Pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman, itulah
yang sedang berlaku saat ini. Bagaimana pendidikan moral bisa diterapkan
jika moral para pendidiknya saja masih patut dipertanyakan. Bukan gaji
yang besar yang dibutuhkan, tapi jiwa yang berkali-kali lipat lebih
besar untuk bisa bertahan dalam profesi ini dan tetap waras.
Pelan-pelan… aku sudah mulai membenci anak-anak ini. Di mataku, mereka
adalah kertas buram dan lusuh. Bukan kertas putih yang masih kosong yang
bisa dicat warna-wani pelangi. Aku mendadak kehilangan kemampuanku
untuk melihat sisi putih dari legam kulit mereka. Anak-anak itu sudah
menjadi kriminil sejak masih di sekolah dasar. Menyalahkan keluarga dan
lingkungan mereka adalah yang kami lakukan disini. Bukan perasaan
seperti ini yang ingin aku rasakan ketika memutuskan untuk mengikuti
program sm3t. Ottokhe… bagaimana dengan hatiku. Bagaimana dengan
idealismeku. Bagaimana nasib pendidikan negeri ini kelak? Tempat ini
punya kekuatan untuk membangkitkan seluruh sisi negatifku. Kini aku
hanyalah seorang guru yang pesimis dan apatis.
Cerpen Karangan: Marine
Facebook: https://www.facebook.com/lisa.aulia
Guru SM 3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal)
Facebook: https://www.facebook.com/lisa.aulia
Guru SM 3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal)
Kalaupun negara menjamin nnti bahwa setelah ujian pasti akan mendapatkan lapangan pekerjaan. Gk papa tetap dilaksanakan ujian nasional
BalasHapusKalaupun negara menjamin nnti bahwa setelah ujian pasti akan mendapatkan lapangan pekerjaan. Gk papa tetap dilaksanakan ujian nasional
BalasHapus