SELAMAT DATANG DI BLOG B3 Baiti Bbytieh Blog

Selasa, 31 Mei 2016

TUHAN, BOLEHKAH AKU MENGELUH??



Baiti Rahma, Surabaya (01/06/16)


Hai Penyu, apa yang kamu lakukan?. Boleh aku duduk bersamamu?.
Tentu saja Pipit. Kamu dari mana?
Aku dari pantai mengunjungi pohon kelapa.
            Pagi bersemi, pancaran mentari mulai menjalar lagi. Gulung gemulung bisik gelombang kembali bernyanyi. Nyiurpun melambai-lambai memanggil sahabatnya kemari. Hai jangan kalian saling mengejar, bagaimana kalau ada gundukan pasir dan kalian menabraknya. Hai, teman kemarilah, duduklah di bawah pelepahku yang mengepak ini.
            Dengan semangat sekali penyu dan pipit berlari. Mereka meghampiri satu sahabatnya lagi. Tak peduli dahagapun mereka terus berlomba, biasanya yang menang akan dapat hadiah, hadiah karangan bunga sebagai mahkota.
            Aku bahagia sekali teman-teman.
            Kenapa?, Penyu dan pohon kelapa sontak bersamaan
Pekan depan ibuku akan mengajakku ke desa seberang, kata ibu kita akan memulai hidup baru di sana. Tapi aku juga begitu sedih, itu artinya kita akan berpisah untuk waktu yang lama.
            Pipit, Penyu dan Pohon kelapa saling memeluk, satu sahabat mereka akan pergi mengikuti ibunya, pipit tak akan mencicit di sini dan mereka membuat janji. Penyu membuat lubang pasir lalu menanam tiga batu besar di bawah pohon kelapa. Ia berkata, “kita akan bertemu lagi di sini teman-temanku”.
            Hari berganti, bulanpun berlalu. Tahun demi tahun beranjak begitu saja. Gemuruh air laut kadang maju lalu mundur lagi, berulang-ulang selalu seperti itu. Kapal-kapal nelayan bergoyang kanan kiri, ada yang menebar jaring lalu mengangkatnya. Ada juga yang melaju pelan dengan sampannya. Mereka menikmati setiap usapan angin liar pada anak rambutnya.
            Hari ini, 1 Juni 2016. Tiga sahabat kecil telah menjadi remaja. Mereka berjanji untuk berjumpa pada tanda gundukan pasir. Pohon kelapa dengan setia menunggu, tak cukup sekali ia meniup angin agar pasir-pasir tidak mengubur dalam batu persahabatannya. Ia menatap jauh ke lautan, melamun, membayangkan betapa segarnya jika ia bisa berendam di sana. Meski semenit ia belum juga merasakannya. Ia terperanjat ketika gelombang itu membawa sesuatu. Sesuatu yang setengah mengapung tiba-tiba mendekat. Terus mendekat hingga ahirnya jelas sekali. Sebuah tempurung yang pernah ia kenal, bergambar nama yang pernah ia dengar.
            “Aih, kaukah itu?”. Ia bergumam sendiri. Kilapan cahaya panas membuatnya mengamati.
            “Pohon kelapaaaaaa”.
            Suara itu membuatnya tertegun. Benar saja, ia adalah si Penyu. Sahabat cantiknya yang pelan sekali ketika berjalan. Ia bercerita bahwa di tengah laut tadi ia bertemu dengan Pipit yang cerewet, badanya lebih berisi dan nyanyiannya begitu manis sekarang.
“Aih, benarkah Penyu?”.               
“Iya, pohon kelapa”.
            Setelah bertemu, Penyu, Pipit dan juga pohon kelapa saling bercerita. Pipit berceloteh riang sekali, ia bahagia ketika sampai di desa seberang. Di sana sangat permai, banyak petani yang menanam padi, ia bisa makan sepuasnya, lalu ketika sore hari ia akan terbang mengelilingi danau lalu menari bersama kupu-kupu. Malamnya ia akan tidur dengan hangat di atas pohon rindang. Dan paginya menyaksikan kerbau-kerbau membajak sawah.
            Belum selesai Pipit bercerita, Penyu menambah kisahnya. “aku juga bahagia sekali, empat tahun terahir ini aku selalu berpindah dari satu benua ke benua lainnya, airnya sangat biru. Aku bertemu ikan warna-warni dan juga paus hiu yang begitu besar. Kadang aku berjemur di pantai dan bermain pasir. Di sana juga banya kutemui karang-karang mempesona. Aku sampai tak ingin berhenti menikmatinya. Lalu apa yang kamu lakukan wahai Pohon kelapa?”. Penyu bertanya.
            Pohon kelapa terdiam, ia menunduk tanpa menjawab. “Selama ini, aku tak kemana-mana. Jangankan untuk berjalan, melangkahpun aku tak bisa. Kadang aku marah sendiri, ketika aku melihat betapa segarnya air alut itu, aku ingin berenang seperti kamu, penyu. Akupun ingin sekali bisa terbang seperti pipit. Bisa terbang kemanapun ku suka atau bertemu para petani yang bertanam. Aku ingin sekali seperti kalian, aku iri dengan keadaan kalian. Apakah kalian tahu, betapa hidup itu tidak adil padaku.”.
            Penyu merasa bersalah, ia telah menyakiti hati sahabatnya. Pipit juga tidak enak hati. Mereka berusaha menghibur sahabatnya.
            “Pohon kelapa, maafkan aku”
            “Iya, pohon kelapa. Maafkan aku juga”.
            Pohon kelapa, apakah kamu tahu?. Ketika aku pergi dari desa kita ke desa tetangga,  aku singgah sementara waktu di sebuah tempat. Tempat yang begitu indah lebih indah dari yang pernah kutemui. Di sana aku melihat pohon besar yang berjajar, rapi sekali. Mereka mengelepakkan sayapnya, lebih kuat dari sayapku, mereka juga bernyanyi lebih indah dari nyanyianku. Apakah kamu tahu?, Siapa mereka, mereka adalah POHON KELAPA, sama sepertimu.
            Oh aku juga punya cerita, apakah kalian tahu?, aku suka sekali berenang. Sesekali tenggelam lalu mengapung. Ketika aku mengapung tiba-tiba saja kepalaku terbentur benda bulat agak padat, aku diam saja dan melanjutkan hobyku. Besoknya aku berenang kembali. Lagi-lagi aku bertemu benda itu lagi. Aku tak begitu menghiraukan. Dalam benakku aku bergumam mengapa selalu ada benda ini di laut lepas. Suatu pagi ketika aku berjemur, punggungku tak sengaja menyentuh sesuatu. aih lagi-lagi benda ini. Di lautan ada di pantai ada dimanapun selalu ada. Tapi ini berbeda, benda itu tak lagi bulat saja tapi mengelurkan sesuatu seperti daun. Kamu tahu?, benda itu persis sekali dengan buah yang ada di batangmu, dia adalah BUAH KELAPA.
            Pohon kelapa, kamu jangan bersedih. Kamu memang tak seperti kami, tidak bisa berenang ataupun terbang. Tuhan memang menjadikanmu spesial dengan takdirmu. Lihat saja, tanganmu begitu panjang sehingga matahari tak menyentuh kami, tubuhmu begitu kokoh hingga kuat menopang tubuh nelayan yang berteduh. Tidak hanya itu kadang buahmu yang masak kau hidangkan untuk minuman mereka. Akarmu yang kuatpun menyelamatkan alam kita. Kamu adalah makhluk yang begitu sabar meskipun ombak selalu menghantammu. Kamu tak pernah marah.
            Lalu kenapa kau bilang bahwa Tuhan tidak adil dengan hidupmu?. Tuhan sangat adil kawanku, apakah kamu tahu?, bisa saja pohon-pohon kelapa yang kutemui dan juga yang ditemui Pipit adalah anak-anakmu. Sederhana dan juga kedermawananmu telah membawamu berenang-renang di lautan. Boleh jadi buah kelapa kemarin adalah buahmu, dia begitu semangat menari mengikuti deru air.
            Kalau boleh iri, maka aku dan pipitlah yang harus mengeluh. Bagaimana tidak, kamu telah memberi banyak manfaat bagi alam ini. Kamu begitu dicintai, bahkan dirimu sendiri telah melalang buana ke setiap pelosok Negeri, kamu selau membuahkan kebaikan. Kamu menjatuhkan kebaikan lalu melanglai jauh ke sana. Menyisir pesona dunia.
            Pohon kelapa diam, ia menangis tersedu-sedu. Ia meminta maaf kepada Tuhan. Ia tak lagi mengutuk diri. Tak lagi mengumpat bahwa ia tak berguna. Sebuah perjalanan sahabatnya telah merubah pandangannya. Merubah senyum hambarnya. Ia kembali membahagiakan hidupnya dengan benar-benar bahagia.